Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teroris dan Koruptor, Buronan yang Berbeda Nasib

16 Januari 2016   23:29 Diperbarui: 17 Januari 2016   06:32 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedangkan untuk para koruptor tidak ada kata sembunyi,  sebab banyak diantara mereka memang public figure. Lihatlah gaya dan kewibawaannya, lihatnya cara bicara dan senyumnya. Mereka tak lain adalah para pejabat, tokoh politik, anggota DPR/DPRD, para pengusaha bonafid, dan para pakar hukum. Anak-isteri dan keluarga maupun kerabat pasti tahu belaka kelakuan kriminal yang dilakukannya; dan orang-orang itu pura-pura tidak tahu alias tutup mata atau memang ketularan buta hati.  

Soal pengetahuan dan keahlian kriminal yang mereka miliki itu sudah semacam ‘kearifan lokal’, tidak perlu belajar ke negeri lain mana pun . Cukup dengan mengikuti warisan kolonial, yang diantaranya dengan perilaku ‘asal-bapak-senang’, memplesetkan ungkapan Jawa  ‘jer basuki mawa beya (untuk berhasil memerlukan pengorbanan/biaya)’ , dan  mengutip sepenggal saja  (tidak lengkap) nasehat dalam agama ‘carilah harta/dunia sebanyak-banyaknya seolah-olah kamu akan hidup selamanya’.

Modal bagi para koruptor  tidak sembarangan, selain pengetahuan mendalam mengenai celah untuk membobol, juga kepandaian berdiplomasi dan kongkalikong membuat jaringan.  Itu sebabnya perilaku koruptif selalu berjamaah. Soal  yang tertangkap dan dihukum hanya satu-dua orang saja itu perkara lain. Beda dengan para teroris, hukuman untuk koruptor pun relatif ringan, bahkan  rutin mendapatkan remisi pula nantinya (sebelum kemudian banyak dikritik dan dikritisi). Para koruptor sama sekali tidak membayangkan bakal mendapatkan hukuman mati. Sebab kalau pun pasal hukuman mati itu ada, mereka bakal mampu menyewa pengacara paling canggih dan mahal sekalipun, pengacara  yang notabene  mampu membolak-balikkan nasib kliennya.

Namun satu hal yang pasti, para koruptor memang sangat takut mati (apalagi membayangkan foto wajah mayat mereka di-close up  dan disebar-luaskan media (untuk mengetahui tersenyum atau mengkerut ketakutan)! Mereka akan berupaya sekeras mungkin agar tidak mati membusuk di penjara, apalagi di hukum mati. . . .nggak banget deh!

Persamaan, Kecolongan

Teroris dan koruptor sama-sama disebut sebagai kejahatan kemanusiaan. Teroris jelas membuat suasana mencekam, masyarakat takut dan was-was, aparat keamanan harus bekerja keras, banyak penangkapan dan salah tangkap, dan lain-lain. Teroris di Sarinah Jakarta bahkan memunculkan satu kata bernuansa pro-kontra yang terasa pahit “kecolongan”.

Padahal siapapun yang mengungkapkan kata itu mestinya mawas diri. Kalau yang ngomong anggota sebuah partai maka bertanyalah balik, apakah bila presiden partai yang korupsi itu juga boleh disebut kecolongan? Kalau yang komentar anggota DPR maka bertanyalah, apakah Ketua DPR RI yang mencatut nama Presiden juga bukan kecolongan?  Kalau yang bertanya pempinan organisasi keagamaan, maka bertanyalah manakala Menteri Agama korupsi itu bukan sebuah kecolongan?

Tapi biarlah kata kecolongan itu dituding-tudingkan, untuk saling tuding, untuk saling mawas diri. Maka mari kita budayakan kata “kecolongan”. Inilah negeri kecolongan, negeri yang sejak zaman dulu sangat kreatif-atraktif dan apresiatif terhadap semua tindak kecolongan.  Kata kecolongan dari kata dasar ‘nyolong” artinya mencuri atau maling. Tambahan awalan dan akhiran untuk menjadikan kata bentukan yang artinya ‘terlepas dari perhatian, atau kurang diperhatikan’ (bukan kecurian, ataukemalingan).

Kembali ke soal persamaan, kedua kelompok begundal itu membuat sengsara dan nelangsa  rakyat. Mereka intens menghancurkan moralitas dan ukuran baik-buruk, mengumbar kehidupan hedonis hasil merampok dan sokongan penyandang dana (untuk teroris) serta hasil korupsi (untuk para koruptor), yang menjadikan orang malas bekerja-berfikir dan mau cari gampang saja.

Sekilas keduanya tidak bersangkut-paut dengan motif ekonomi, namun dampaknya jelas ke sana . Teroris mengakibatkan kegiatan sosial-ekonomi mati suri, dan lama waktunya untuk dapat pulih kembali.  Untuk kasus korupsi, tiang dan sendi-sendi  berbangsa dan bernegara digerogoti para pelaku dengan tanpa malu – tanpa ragu – tanpa merasa bersalah. Sosok menteri, gubernur, akademisi, tokoh agama, dan sebut siapa saja yang lain, hampir tidak ada yang bebas dari perilaku korup itu. Bahkan konon sosok presiden pun (di negeri ini entah presiden yang ke berapa saja) mendapatkan tudingan menjadi salah satu dalang tindak dan bancakan korupsi itu.

Apalagi? Masih banyak kalau mau diurut persamaan keduanya.  Diantaranya, sama-sama pengecut, sama-sama sesat, sama-sama  hanya mementingkan diri sendiri, dan sama-sama ingin menghindar dari hukuman. Mereka sama ternyata. Untuk membuktikan hal itu bagus kalau dilakukan eksperimen: sekelompok teroris digabung dalam satu sel dengan para koruptor. Wah, apa yang bakal terjadi ya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun