Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Rumah di Bibir Sungai

12 Januari 2016   00:17 Diperbarui: 15 Juni 2016   00:32 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - lelaki di pinggir sungai (kfk.kompas.com)

Rumah di bibir sungai itu menjadi buah bibir. Tentu ada nada khawatir, dan selebihnya takut serta harapan agar hujan lebat malam ini tidak berubah menjadi bencana. Ya, itulah rumah Pak Jalmolono, lelaki tegap setengah tua yang penuh percaya diri bahwa hidupnya selalu baik-baik saja meski kerap dilanda bahaya.

“Pindah saja, Mas Jalmo. Tebing itu terlalu tinggi, bila sekali lagi arus sungai deras menggerusnya bakal sulit dibayangkan apa yang akan menimpa rumah sampeyan...!” gumam Lik Rukidi di sela ngobrol soal musim hujan di pos ronda Minggu malam lalu.

Tiga lelaki lain yang merubung Mas Jalmo mendukung ucapan itu dengan caranya masing-masing. Joni Tatto, Piun, Ledrek, dan Julami menunjukkan wajah miris karena kekhawatiran yang mendalam. Tapi Mas Jalmo tidak bereaksi apa pun. Bahkan ia balik menasehati Lik Rukidi.

“Sampeyan saja yang pindah dari rumahmu itu, Lik Rukidi. Kata orang-orang di situ banyak penghuni makhluk halusnya, pompa air sering macet, genteng bocor, dan anakmu sakit-sakitan. Bukankah kondisi rumah sampeyan lebih memprihatinkan?”

Diam sejenak. Masing-masing berpikir, betul juga omongan Mas Jalmo, pikir Joni Tatto seraya mengembuskan asap rokok dari bibirnya yang pucat kehitaman. “Bagaimana kalau kalian saling tukar rumah saja untuk sementara? Dengan begitu kalian bisa merasakan suasana keprihatinan yang berbeda...!”

“Ahh, mana mungkin? Kayak anak-anak main rumah-rumahan saja, pakai pindah-pindah segala...!” komentar Piun sambil terkekeh.

Dan Pos Ronda itu riuh oleh gelak tawa. Tanpa ada keputusan tentang apa yang harus dilakukan terhadap rumah Mas Jalmo yang mengkhawatiran, atau rumah Lik Rukidi yang kurang nyaman itu. Gelak tawa makin keras ketika kartu domino dikeluarkan, lalu bantingan kartu demi kartu disertai komentar-komentar lucu pun berhamburan.

Hujan turun dengan derasnya di utara kota, dan tak lama kemudian menerjang permukiman itu juga. Percik hujan dan angin bertiup keras di pos ronda itu. Namun permainan makin seru saja. Sementara itu debit air anak Sungai Citarum di ujung kompleks perumahan itu lambat tapi pasti makin meninggi.

***

Waktu seperti cepat sekali berganti. Dulu, sepuluh tahun lalu anak sungai itu tidak seberapa besar airnya meski hujan lebat sekalipun. Namun kini arus dan alirannya sangat menakutkan. Suaranya bergemuruh. Orang tahu, arusnya membawa aneka sampah dan barang-barang yang hanyut atau sengaja dihanyutkan.

Dulu, rumah Mas Jalmo nomor tiga dari bibir sungai. Tapi satu demi satu rumah tetangga itu rubuh, dan tumbang, lalu masuk ke dalam sungai yang sedang meluap. Beruntung tidak ada korban jiwa. Namun kejadian yang sangat mendadak itu menghanyutkan apa saja isi rumah. Tidak ada yang tertinggal.

Dua rumah sudah tiada, dan kini rumah ketiga berada di bibir sungai. Tinggi tebing hampir sepuluh meter. Arus sungai dengan air berwarna cokelat kehitaman begitu cepat menggerogoti lapisan demi lapisan tanah. Lalu tanah di atas longsor dengan membawa bangunan di atasnya.

Khawatir dan bingung, itulah yang dirasakan Bu Prapti –istri Mas Jalmo. Malam jelang puncaknya. Hujan seperti tumpah dari langit, makin menggila. Perempuan itu menggendong Tri, anak bungsunya yang belum genap setahun. Menggandeng Eko dan Dwi di tangan kiri dan kanan, dan meninggalkan apa saja di dalam rumah. Disadari waktu sangat sempit untuk menyelamatkan diri. Gemuruh air sungai seperti memberi peringatan terakhir agar segera menyingkir.

“Ayo, Nak. Kita cepat-cepat. Kita pergi saja. Biarkan bapakmu pulang dan tidak mendapati siapa pun dan apa pun di sini. Lelaki yang selalu salah dalam perhitungan itu tak pernah menghargai pendapat istri. Jangan-jangan ia memang menginginkan kita berempat dimangsa banjir bandang di bawah itu...! Ayo cepat!” seru Bu Prapti sambil menyeret kedua anaknya.

Sebuah taksi berhenti di depan rumah. Keempat orang ibu dan anak itu pun bergegas masuk mobil. Di depan pos ronda taksi membunyikan klakson, tapi tidak ada yang peduli. Bantingan kartu makin keras, celoteh dan serapah makin sering diperdengarkan disertai gelak tawa, jerit, dan dengusan. Lewat tengah malam itu memang arus besar melabrak tebing, menggerogoti lapisan tanah, lalu tanah di atasnya ambrol dengan membawa utuh rumah tipe 21 di atasnya. Tidak ada yang bersisa...!

***

Jelang subuh, kala pulang ke rumah dengan tubuh lungkrah dan mulut berbusa karena minuman, Mas Jalmo terlolong tak mampu berkata apa pun. Ia mendapati tidak ada apa-apa selain tebing baru di belakang pagar rumahnya.

“Prapti? Anak-anak, sampeyan pada di mana, Nak?!” gumam lirih Mas Jalmolono dengan mata nanar. Ia tidak sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi. Ia melangkah terus sampai di ujung tebing. Di bawah sana air banjir masih bergolak deras. Lalu ia mundur beberapa langkah, seperti ancang-ancang hendak....

Beberapa orang bapak berjalan cepat dengan mengangkat kain sarung mereka. Agaknya mereka jemaah sholat subuh Masjid Al Ikhlas. Dengan sangat cepat Mas Jalmo dapat dipegang kedua lengannya, lalu diseret mundur beberapa langkah. Mas Jalmo berteriak-teriak histeris dan meronta-ronta hendak membebaskan diri. Namun pegangan makin kuat. Keributan ba’da subuh itu membangunkan lebih banyak warga. Seketika mereka berkumpul dan bertanya kepada Mas Jalmo ke mana Bu Prapti dan ketiga anaknya.

“Ke mana? Hahaha! Mereka sudah hanyut, pergi, minggat.... Mereka memang sengaja hendak menghindariku. Mereka sudah merencanakan sejak lama untuk menghadapi peristiwa ini!” teriak Mas Jalmo seperti orang kesurupan.

“Tapi bukankah sejak lama Bu Prapti mengajak pindah rumah. Sampai beberapa kali timbul pertengkaran tapi Mas Jalmo bersikukuh tidak mau pindah. Peristiwa ini mudah-mudahan menjadi pembelajaran kita semua...!” ucap Pak Haji Martubi  untuk menenangkan.

***

Anak Sungai Citarum itu tetap banjir, tetap mengangkut ribuan ton sampah dan segala barang yang dibuang warga kota. Termasuk pepohonan, perabotan rumah tangga, bahkan juga kasur busa dan sofa besar. Belum ada kesadaran bahwa perilaku itu membawa bencana lain yang lebih besar.

Dilain pihak karena terbiasa hidup dengan bencana, warga di bantaran sungai tidak cukup hirau untuk menyelamatkan diri. Itu juga yang dialami Mas Jalmolono yang kini setia menunggui di sepanjang bibir sungai dengan wajah kurus kehitaman dan selalu tertawa. Pakaiannya compang-camping kotor dan bau, rambut gimbal memanjang. Di sela suara tawa ia menyebut-nyebut nama istri dan ketiga anaknya.

Sejak kejadian berbagai usaha pencarian korban sudah dilakukan. Tapi hasilnya nihil. Agaknya Prapti memang sudah merencanakan untuk pergi jauh. Ia menyingkir ke seberang pulau di sebuah kota transmigran dengan ketiga anaknya. Ia hidup dengan seorang suami baru yang rajin bekerja, berperangai lemah-lembut, sayang pada anak dan istri, dan sholeh. Tidak berlebihan sebenarnya tuntutan seorang istri, tapi para suami suka abai.***

Bandung, 12 Januari 2016

Simak juga tulisan berikut:

  1. di-ujung-batas-saat-menyeberang-waktu
  2. lagu-romantis-bang-roma-perasaan-yang-berbeda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun