Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Rumah di Bibir Sungai

12 Januari 2016   00:17 Diperbarui: 15 Juni 2016   00:32 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, rumah Mas Jalmo nomor tiga dari bibir sungai. Tapi satu demi satu rumah tetangga itu rubuh, dan tumbang, lalu masuk ke dalam sungai yang sedang meluap. Beruntung tidak ada korban jiwa. Namun kejadian yang sangat mendadak itu menghanyutkan apa saja isi rumah. Tidak ada yang tertinggal.

Dua rumah sudah tiada, dan kini rumah ketiga berada di bibir sungai. Tinggi tebing hampir sepuluh meter. Arus sungai dengan air berwarna cokelat kehitaman begitu cepat menggerogoti lapisan demi lapisan tanah. Lalu tanah di atas longsor dengan membawa bangunan di atasnya.

Khawatir dan bingung, itulah yang dirasakan Bu Prapti –istri Mas Jalmo. Malam jelang puncaknya. Hujan seperti tumpah dari langit, makin menggila. Perempuan itu menggendong Tri, anak bungsunya yang belum genap setahun. Menggandeng Eko dan Dwi di tangan kiri dan kanan, dan meninggalkan apa saja di dalam rumah. Disadari waktu sangat sempit untuk menyelamatkan diri. Gemuruh air sungai seperti memberi peringatan terakhir agar segera menyingkir.

“Ayo, Nak. Kita cepat-cepat. Kita pergi saja. Biarkan bapakmu pulang dan tidak mendapati siapa pun dan apa pun di sini. Lelaki yang selalu salah dalam perhitungan itu tak pernah menghargai pendapat istri. Jangan-jangan ia memang menginginkan kita berempat dimangsa banjir bandang di bawah itu...! Ayo cepat!” seru Bu Prapti sambil menyeret kedua anaknya.

Sebuah taksi berhenti di depan rumah. Keempat orang ibu dan anak itu pun bergegas masuk mobil. Di depan pos ronda taksi membunyikan klakson, tapi tidak ada yang peduli. Bantingan kartu makin keras, celoteh dan serapah makin sering diperdengarkan disertai gelak tawa, jerit, dan dengusan. Lewat tengah malam itu memang arus besar melabrak tebing, menggerogoti lapisan tanah, lalu tanah di atasnya ambrol dengan membawa utuh rumah tipe 21 di atasnya. Tidak ada yang bersisa...!

***

Jelang subuh, kala pulang ke rumah dengan tubuh lungkrah dan mulut berbusa karena minuman, Mas Jalmo terlolong tak mampu berkata apa pun. Ia mendapati tidak ada apa-apa selain tebing baru di belakang pagar rumahnya.

“Prapti? Anak-anak, sampeyan pada di mana, Nak?!” gumam lirih Mas Jalmolono dengan mata nanar. Ia tidak sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi. Ia melangkah terus sampai di ujung tebing. Di bawah sana air banjir masih bergolak deras. Lalu ia mundur beberapa langkah, seperti ancang-ancang hendak....

Beberapa orang bapak berjalan cepat dengan mengangkat kain sarung mereka. Agaknya mereka jemaah sholat subuh Masjid Al Ikhlas. Dengan sangat cepat Mas Jalmo dapat dipegang kedua lengannya, lalu diseret mundur beberapa langkah. Mas Jalmo berteriak-teriak histeris dan meronta-ronta hendak membebaskan diri. Namun pegangan makin kuat. Keributan ba’da subuh itu membangunkan lebih banyak warga. Seketika mereka berkumpul dan bertanya kepada Mas Jalmo ke mana Bu Prapti dan ketiga anaknya.

“Ke mana? Hahaha! Mereka sudah hanyut, pergi, minggat.... Mereka memang sengaja hendak menghindariku. Mereka sudah merencanakan sejak lama untuk menghadapi peristiwa ini!” teriak Mas Jalmo seperti orang kesurupan.

“Tapi bukankah sejak lama Bu Prapti mengajak pindah rumah. Sampai beberapa kali timbul pertengkaran tapi Mas Jalmo bersikukuh tidak mau pindah. Peristiwa ini mudah-mudahan menjadi pembelajaran kita semua...!” ucap Pak Haji Martubi  untuk menenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun