Contoh kata-kata bersayap di atas tentu lebih tepat disebut sebagai eufemisme, yaitu ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan.
Wah, ini resikonya kalau Menteri berpendidikan ala kadarnya dan tipe pekerja bukan pemikir. Jelek? Belum tentu. Mudah-mudahan hal itu bagian dari upaya mencari kepastian makna setiap kata dan ucapan para birokrat dan pejabat publik demi menyebar-luaskan/menggalakkan/membudayakan semangat transparansi.
Â
Penutup
Berita yang kita konsumsi setiap hari nyatalah juga sebuah peristiwa bahasa. Pada satu waktu kata-kata tertentu begitu popular, berganti waktu berganti kata lain yang paling banyak digunakan, dan seterusnya. Kadang kata-kata baru, sering kata-kata lama/using dipergunakan kembali.Â
Dengan demikian bukan hanya jurnalis, penulis naskah iklan, dan penyair maupun ahli bahasa yang berkutat tiap hari dengan soal penggunaan dan pilihan kata; namun juga pemirsa, , pendengar, khalayak, serta masyarakat umum peminat baca-tulis.
Khalayak yang melek informasi akan sangat mudah menebak berita apa yang dimaksud seseorang ketika dalam percakapan menggabungkan dua kata/frasa. Ambil contoh, kata ‘masuk-angin dan hati-nurani’ (terkait MKD, beberapa anggotanya pamer kegenitan intelektual keblinger), kata ‘korban dan prostitusi’ (artis berinisial NM, kampanye terselubung bahwa setiap artis ‘tidak-ada salahnya’ punya pekerjaan-sampingan), kata ‘makan-siang dan Kompasiana’ (ribut undangan Jokowi, bisa juga kata ‘dua-ratus-lima-puluh dan seratus’), kata ‘macan-Asia dan kampanye Pilpres (slogan Prabowo, sekarang macannya entah dimana dan ‘sedang-sibuk-apa’), dan seterusnya.
Harapan saya mengekor saja dengan kebijakan seorang Menteri: ‘Dilarang menggunakan kata-kata bersayap’, supaya tidak bikin ‘mumet’ alias pusing. Harapan lain, mari kita berbahasa Indonesia (dan bukan Bahasa Inggris) untuk (salah-satunya) mengembalikan semangat nasionalisme kita yang makin rendah/jatuh/terpuruk saat ini.
Demikian saja tulisan ala kadarnya ini, terimakasih sudah menyimak sampai akhir, mohon maaf bila tidak berkenan. Teruslah menulis hal-hal baik dan bermanfaat (sekecil apapun), sampai mungkin kelak dilarang menulis (karena alasan kesehatan, keamanan, politik, dst.). Wassalam.
Bandung, 14 Desember 2015
Â
Sumber gambar: