Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(KC) Mencintaimu dengan Sederhana

2 Oktober 2015   21:04 Diperbarui: 11 Oktober 2015   06:10 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="lukisan abstrak"][/caption]Sumber gambar: http://suzinassif.com/techniques-to-craft-abstract-art/

Sugiyanto Hadi, Nomor 124

Sulfah binti Damin terbaring lemah di pembaringan kayu reyot. Pucat dan kurus badannya tertopang selembar kasur tipis. Dua tahun ia terbaring di situ, di kamar pengap dan sempit seperti orang yang sedang bersembunyi dari dunia luar.

 

Penyakit dalam membuatnya begitu. Ia tak  mampu melakukan apapun kalau tidak dibantu suami atau anak tunggalnya. Beruntung Kang Jajang sangat setia dan pekerja keras. Tambah lagi anaknya Sobri begitu sabar melayani apa saja keperluan ibunya. Sulfah ingin seperti dulu, membantu mencari nafkah meski hanya dengan berjualan nasi kuning. Tapi keinginan itu tinggal angan-angan.

***

Pagi itu setelah sholat subuh berjamaah di mushola, Kang Jajang pamit untuk berangkat bekerja. “Aku pamit mau bekerja. Doakan selamat dan dapat uang. . . . .!” ujar Kang Jajang dengan tangan digerak-gerakan. Namun Sulfah binti Damin tidak bereaksi.  Matanya saja dengan sorot sayu lekat menatap sang suami.

 

Namun kemudian ia mencolek lengan suaminya dan bibirnya mengatakan sesuatu. “Hati-hati di jalan!” Kang Jajang mengacungkan jempol tangan. “Aku selalu hati-hati. Lagian ‘kan cuma berjalan kaki. Jadi tidak mungkin ngebut dan bertabrakan……!” Sulfah memperlihatkan gigi dengan senyum kecil menanggapi gurauan lelaki yang dicintainya itu.

 

Kang Jajang hendak pergi ketika Sulfah melambaikan tangan. Lelaki itu memperhatikan isterinya kalau-kalau ada firasat tertentu di situ. Tapi tidak. Sulfah justru balas bergurau dengan mengatakan: “Sejak menikah sepuluh tahun lalu, seingatku Akang belum pernah mengatakan cinta kepadaku”. Kang Jajang tentu saja terkesiap. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Itu pernyataan entah yang keberapa yang belum mampu dipenuhinya.

 

Di dapur sempit rumah petak itu Kang Jajang pamit pada Sobri yang sedang mencuci piring. Sobri berdiri seperti hendak mengatakan sesuatu.  “Roti yang bapak bawa kemarin enak sekali…….!” Kang Jajang mengelus kepala anaknya itu dan menjawab. “Itu pemberian majikan bapak di kota. Tapi tidak tiap hari ia punya roti untuk kita…..!”

***

Sambil berjalan pikiran Kang Jajang melayang pada nasib anaknya. Sobri sudah tujuh tahun namun belum bersekolah. Bocah itu merasa malu sebab teman-teman sebayanya sudah kelas dua SD. Tiap pagi mereka gaduh, ribut soal seragam, bekal makanan, pekerjaan rumah, dan kegiatan sekolah hari ini. Namun Sobri, seperti namanya, harus bersabar. Ia tidak mungkin menolak permintaan ibunya untuk terus merawat, entah sampai kapan nanti.

 

Lelaki itu menyeberang jalan yang padat. Lalu masuk jalan kampung untuk menempuh jalan pintas. Tidak perlu memutar. Beberapa orang yang dikenalnya memberi salam dengan lambaian tangan. Mas Mangku penjual ayam bakar berkomentar. “Belum sembuh juga isterimu, Kang? Dulu mau kujodohkan dengan Mirta si bandar beras, tapi kamu jual mahal….hehe”.

 

Kang Jajang ikut terkekeh sambil bergumam sesuatu yang tak jelas. Selintas ia teringat betapa perempuan gemuk-hitam yang ditawarkan Mas Mangku tak canggung menayai langsung kesediaan Kang Jajang jadi suami. Tapi mana ada laki-laki lajang yang tiba-tiba harus punya enam orang anak tiri dan seorang isteri yang tambun sepuluh tahun lebih tua. Sudah pasti ia lebih memilih Sulfah binti Damin yang cantik.

 

Gangguan berumah tangga seperti tak bosan mengujinya. Minggu lalu Mak Odah tetangganya datang dan mengatakan sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikirannya. “Isterimu Sulfah binti Damin akan sembuh kalau kamu ceraikan. Ia tidak cocok jadi isterimu. Manurut penglihatanku, sakitnya karena ulah seseorang. Mungkin pesaingmu dulu yang tak mau melihat kalian hidup berbahagia….!”

 

Kang Jajang tidak menanggapi. Mak Odah tak lain seorang mak comblang yang gigih. Karena ulahnya juga dulu banyak jejaka dan duda yang diberi janji dapat memperisteri Sulfah binti Damin.

 

Matahari pagi bersinar terik. Langkah lelaki itu tak dikendorkan. Wajah dan tengkuk serta sekujur tubuh Kang Jajang berkeringat. Tinggal sekitar sepuluh menit lagi pejalanan ke proyek perumahan. Ia harus menyeberangi lintasan kereta api.

 

Tiba-tiba mata Kang Jajang melihat dua orang teman kerjanya berboncengan sepeda onthel melaju di jalur seberang. Kang Jajang melambaikan tangan. Kedua teman itu ganti melambai sambil mengucapkan sesuatu yang tertelan keriuhan lalu-lintas pagi.

 

Lambaian tangan itu agaknya pesan terakhir Kang Jajang pada kehidupan yang dijalaninya. “Awas, minggir! Hei jangan nekat. Kereta sudah dekat, Pak, cepatlah lari….lari….!” Dari arah belakang ada lokomotif menyeret sembilan rangkaian gerbong penumpang meluncur kencang.

 

Pagi meriah dihiasi teriakan, pekik, dan celoteh hingar-bingar. Kerumunan orang di samping penyeberangan jalan utama dengan rel itu memacetkan arus lalu-lintas. Suara klakson, deru sknalpot, ditingkah dengan caci-maki saling hujat tak terelakkan. Namun tubuh Kang Jajang terlanjur  tergolek bermandi darah.

 

Ketika seorang Polisi Lalu-Lintas datang dan mencari identitas, didapatinya di dalam dompet lusuh di saku celana korban. Isinya KTP, selembar uang lima ribuan rupiah, dua koin limaratus rupiahan, serta sebuah sobekan kertas koran berisi puisi karya penyair Sapardi Djoko Damono. JudulnyaAku Ingin’:

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana// dengan kata yang tak sempat diucapkan//  kayu kepada api yang menjadikannya abu//

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana// dengan isyarat yang tak sempat disampaikan//awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

 

Pak Polisi tersenyum aneh. Ia tidak tahu apa arti puisi itu. Ia menduga korban seorang penyair. Ditelitinya lagi dompet itu. Agaknya masih terselip sebuah kartu nama. Kartu itu menerangkan bahwa Jajang merupakan seorang anggota perkumpulan para penyandang tuna rungu/wicara!

Bandung, 2 Oktober 2015

***

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Untuk melihat karya peserta lain silahkan kunjungi akun Fiksiana Community

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun