[caption caption="lukisan abstrak"][/caption]Sumber gambar: http://suzinassif.com/techniques-to-craft-abstract-art/
Sugiyanto Hadi, Nomor 124
Sulfah binti Damin terbaring lemah di pembaringan kayu reyot. Pucat dan kurus badannya tertopang selembar kasur tipis. Dua tahun ia terbaring di situ, di kamar pengap dan sempit seperti orang yang sedang bersembunyi dari dunia luar.
Penyakit dalam membuatnya begitu. Ia tak mampu melakukan apapun kalau tidak dibantu suami atau anak tunggalnya. Beruntung Kang Jajang sangat setia dan pekerja keras. Tambah lagi anaknya Sobri begitu sabar melayani apa saja keperluan ibunya. Sulfah ingin seperti dulu, membantu mencari nafkah meski hanya dengan berjualan nasi kuning. Tapi keinginan itu tinggal angan-angan.
***
Pagi itu setelah sholat subuh berjamaah di mushola, Kang Jajang pamit untuk berangkat bekerja. “Aku pamit mau bekerja. Doakan selamat dan dapat uang. . . . .!” ujar Kang Jajang dengan tangan digerak-gerakan. Namun Sulfah binti Damin tidak bereaksi. Matanya saja dengan sorot sayu lekat menatap sang suami.
Namun kemudian ia mencolek lengan suaminya dan bibirnya mengatakan sesuatu. “Hati-hati di jalan!” Kang Jajang mengacungkan jempol tangan. “Aku selalu hati-hati. Lagian ‘kan cuma berjalan kaki. Jadi tidak mungkin ngebut dan bertabrakan……!” Sulfah memperlihatkan gigi dengan senyum kecil menanggapi gurauan lelaki yang dicintainya itu.
Kang Jajang hendak pergi ketika Sulfah melambaikan tangan. Lelaki itu memperhatikan isterinya kalau-kalau ada firasat tertentu di situ. Tapi tidak. Sulfah justru balas bergurau dengan mengatakan: “Sejak menikah sepuluh tahun lalu, seingatku Akang belum pernah mengatakan cinta kepadaku”. Kang Jajang tentu saja terkesiap. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Itu pernyataan entah yang keberapa yang belum mampu dipenuhinya.