Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Para Mualaf, hingga Ajakan Selektiflah Melakukan Copas

6 Agustus 2015   01:26 Diperbarui: 6 Agustus 2015   01:26 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berani berubah

Berani berubah menjadi kata kunci, dalam banyak kisah yang dapat disamakan dengan pengertian ber-hijrah. Berubah dari tempat/kota/Negara ke tempat lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dari satu kesenangan ke kesenangan lain, dan seterusnya. Pilihan kedua itu tidak selalu menyenangkan. Seringkali malah sangat menyedihkan, menakutkan, menyakitkan.

Keyakinana tentang kebenaran suatu perkara yang diyakini menjadikan seseorang dapat mempertaruhkan apapun untuk mendapatkan kesempatan berubah. Bahkan harta dan nyawa dipertaruhkan.

Betapa banyak orang-orang yang dibayang-bayangi rasa takut untuk berubah karena secara nalar akan membawanya pada kesulitan dan ketakutan. Namun banyak kisah membuktikan ternyata setelah berubah banyak jalan lain yang tak terduga-duga menggantikan yang telah hilang. Contoh kecil soal berhijab bagi muslimah desawa (meski banyak pula yang mengenakannya sekedar kedok untuk menutupi kelakuan buruknya).

Mendahulukan akherat

Pak Ustad Khairudin Ali dalam pengajian ba’da Maghrib tadi menjelaskan, sikap dan pikiran setiap orang dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu kalbu dan hawa nafsu. Kalbu punya pembela yaitu nur-ilahiah, sedangkan hawa nafsu punya pembela yaitu kegelapan, kemaksiatan, dan kedurhakaan. Dan di belakang hawa nafsu itu ada iblis yang akan menggoda manusia dengan segala cara, dari segala arah, dan kepada setiap manusia (mulai orang tanpa ilmu-pengetahuan agama sampai para nabi/rasul) hingga akhir zaman.

Bila seseorang masih memandang dunia dengan penuh pesona maka sebenarnya ia masih dikuasai oleh hawa nafsu. Padahal pesona dunia adalah semu, menipu, dan menjadi jembatan melalaikan akherat.

Oleh karena itu setiap muslim mestinya mendahulukan kalbu, atau hati nurani, untuk menempatkan kepentingan akherat di atas segala-galanya. Alasannya sederhana, siapa yang hanya mengejar dunia maka jelas akheratnya ditinggalkan (dan belum tentu dunianya tergapai/sukses), namun siapa yang mengejar akherat maka dunianya juga didapat (dengan prinsip bersabar ketika berkekurangan dan bersyukur ketika berkelebihan)

Penutup

Soal seseorang memutuskan menjadi mualaf  -sekali lagi- lepas dari berbagai rangkaian cerita dan latar-belakang, sebab-akibat, kisah tragis-dramatik hingga sadis, dan berbagai argumen maupun alasan apapun, semua bermuara pada soal hidayah.

Alangkah banyak orang yang tahu tentang kebenaran namun tidak diberi hidayah, maka sampai ajal menjemput tidak berani berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun