SATU
NGOBROL apa saja, kapan sempat, dilakukan semua orang. Memang selalu ada bahan obrolan yang paling menarik.Begitu pula pada satu kampung di tengah kota dekat stasiun kereta api itu.Siapa lagi selebritasnya kalau bukan Rasimah.Perempuan itu sudah menemukan jodoh. Tentu skenario demikian amat mencengangkan. Ada nuansa sedih dan terlunta, ada juga debar dahsyatnya gembira. Meski kemudian.... ah, Â akhirnya...!
Bagi Rasimah kalau sekedar suami, semalam bisa belasan datang bergilir. Seperti orang melarat pada antri raskin. Tapi jodoh? Berapa banyak orang yang setia menunggu jodoh hingga menjadi patung batu. Tidak sedikit mereka yang terjebak pada petualangan tiada henti. Rasimah sungguh beda. Ia menjadi bahan pergunjingan paling laris seminggu terakhir.
DI WARUNG kelontong Mak Usup, di tengah perkampungan kumuh yang padat dan mesum itu, dari menit ke menit dialog infotainment terus berulang. –Rasimah ketemu jodoh? Perempuan legam yang sesekali kumat sintingnya itu?- tanya Wantini setengah berbisik penasaran. –Siapa pula calon suaminya, Mang?-
-Kudengar seorang bos, tinggi-besar, rambutnya lebat seputih kapas, dan tentu saja penampilannya sangat mewah. Pokoknya nggak ada yang nyangka. Rasimah dilamar orang gedean. Aneh ’kan?- jawab Mang Jejen sambil berdecak-decak, mirip suara cicak kawin. Senyum dan gerak matanya sangat tidak percaya.
-Mang Jejen tahu banyak cerita Rasimah?- kejar Wantini sambil menyorongkan bibir tebalnya dengan gincu sembarangan itu.
-Aku terlambat melamarnya? Kukira ia seperti perempuan komersial lain. Tidak akan pernah laku kawin. Sampai lapuk, tua, dan membusuk, tanpa pernah sempat bertobat!-
-Kamu cemburu? Atau lebih dari itu, Mang?-
Warung Mak Usup tidak lagi ramai jelang tengah malam itu. Wantini dan Mang Jejen saja menemani pemilik warung yang sibuk dengan dagangannya. Mereka bebas ngerumpi. Sebenarnya sudah lama Wantini naksir berat pada Mang Jejen. Tapi yang ditaksir acuh tak acuh saja, entah apa yang tidak disukainya pada diri Wantini. Perempuan itu lumayan cantik, selalu datang dan menawarkan diri, tapi Mang Jejen dengan kata-kata halus menolak.