Bonari, bulan depan aku akan menikahi Annisa Rahardi di Brisbane. Aku sudah siapkan tiket untukmu, isterimu dan anak-anakmu. Kalian bisa datang kan? Mula-mula naiklah Garuda Jakarta – Denpasar. Lalu Denpasar – Brisbane. Aku akan jemput kalian di bandara. Dan kalian harus tinggal di sini selama kalian suka. Aku ingin mengenang Widorokandang bersamamu.
Bonari tertegun membaca surat Murtijo terakhir. Selamat menikmati hidup baru di negeri orang, Jo. Aku bangga menjadi temanmu. Namun, aku dan keluargaku tidak mungkin memenuhi undanganmu. Kami akan tetap di sini. Kami akan memulai hidup baru setelah rumah dan peternakan lebahku habis terbakar. Kau tahu kenapa? Karena aku menolak pindah dari desa kelahiranku. Sebuah perusahaan pengelola hotel besar akan membuat hotel berbintang lima di lahan rumahku. Aku warga Widorokandang pertama yang menolak pindah, Jo. Dan karena aku miskin, siapa yang akan membelaku? Tidak ada, Jo. Hanya Tuhan yang mengasihiku.
Bonari memandang langit biru di kejauhan. Matanya kosong. Isterinya merebus air di bawah pohon sawo, tak jauh dari kandang kambingnya. Anak-anaknya bermain tanah liat di lahan galian selokan. Tak jauh dari mereka, aroma kemegahan dan kemeriahan mengapung di langit Widorokandang. Gerimis pun turun pelan-pelan. (Sugito Hadisastro)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H