Kapan kamu akan pulang, Jo? Tanya Bonari dalam sebuah suratnya yang lain. Aku tidak dapat menjawabnya. Selama hampir lima belas tahun aku berada di Brisbane, Australia, banyak sekali hal baru dalam hidupku yang tidak dapat aku jelaskan kepada siapa pun, termasuk Bonari, teman karibku itu.
Kedatanganku di Negeri Kangguru ini pun semacam keberuntungan. Mr. Walcott, seorang peneliti dari sebuah universitas di Australia, sedang meneliti sejenis tumbuhan tropis yang hanya tumbuh di daerah sekitar Bukit Jambul. Mr. Walcott tidak mau ditemani penerjemah. Beliau suka bekerja dengan ditemani anak-anak. Dari sekian banyak anak, aku yang dapat sedikit-sedikit berbahasa Inggris. Maka aku dipilih menjadi asistennya. Setelah penelitian selesai beliau menawariku untuk diajak ke Australia. Menjadi teman karibnya. Aku kaget betul. Orang setua itu mengajak seorang anak remaja berteman. Karena kedua orang tuaku sudah meninggal, dan selama ini aku dipelihara paman, dan paman bukanlah orang kaya, maka paman mengijinkan aku pergi ke Australia. Segala proses perijinan dan biaya Mr. Walcott yang mengurus. Dan pada musim dingin bulan Juli aku menginjakkan kaki pertama kali di Kota Brisbane.
Rumah Mr. Walcott berada di tepi Sungai Brisbane yang indah berair biru. Beliau memperlakukan aku dengan sangat baik, sehingga aku berpikiran ingin tinggal bersamanya di sini selamanya. Tapi, hari-hari berikutnya aku mulai mencium gelagat kurang tepat pada diri orang tua asuhku ini. Mr. Walcott sering membelai-belai kepalaku dan menciumi keningku, bahkan pipiku. Aku mulai berpikir, jangan-jangan beliau seorang pecinta anak-anak, seperti yang pernah aku lihat di televisi. Ketika Mr. Walcott pergi mengajar, aku melihat-lihat koleksi buku-bukunya di perpustakaan pribadinya. Aku menemukan sebuah album foto yang berisi gambar-gambar beliau dengan anak-anak. Ada anak kulit putih, kulit hitam, dan sawo matang. Anehnya, sebagian besar foto beliau bersama anak-anak kulit sawo matang, Melayu, sepertiku. Jangan-jangan?
Akhirnya, setelah menimbang sana-sini, aku kabur. Tempat yang kutuju pasar swalayan. Di tempat ini banyak kulihat orang-orang Asia berkulit sawo matang berbelanja. Aku pikir mereka orang-orang Indonesia, ternyata bukan. Mereka berasal dari Filipina, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Seharian aku bersembunyi di tempat yang tidak banyak dilalui orang sambil mengawasi kalau-kalau ada orang Indonesia. Benar juga, pada saat menjelang sore, aku lihat sepasang laki-perempuan dan seorang anak perempuan berjalan-jalan di pasar tersebut. Kuikuti saja dari jarak tidak terlalu dekat agar aku dapat mendengar bahasanya. Ternyata mereka berbahasa Indonesia. Alhamdulillah, Tuhan berkenan menolongku.
Ketika aku sampaikan masalahku, Pak Rahardi dan isterinya Bu Meliana, demikian nama mereka, mau menerimaku dan mengajakku ke rumahnya di Albany Creek. Pak Rahardi seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah sekolah lanjutan atas di Pine Rivers dan Bu Meliana bekerja di Konsulat Republik Indonesia di Brisbane. Sejak itu aku dipercaya menjadi pengasuh Annisa, anak tunggal mereka yang usianya dua belas tahun di bawah usiaku. Aku pun dibolehkan tinggal di rumahnya, meskipun surat-surat penting milikku tertinggal di rumah Mr. Walcott.
Entah bagaimana caranya, aku bisa sekolah di Pine Rivers State High School, dan lalu melanjutkan ke Diploma Tiga Akuntansi di TAFE. Setelah lulus aku diterima bekerja sebagai asisten akuntan di sebuah perusahaan importer mobil di Melbourne. Semua biaya sekolah hingga mendapatkan pekerjaan, Pak Rahardi dan Bu Meliana yang mencarikan. Tak terbayangkan seorang anak desa Widorokandang menjadi seorang pekerja kantoran di salah satu kota besar dunia.
Satu bulan sekali aku terbang ke Brisbane dari Melbourne mengunjungi keluarga Rahardi. Mereka sudah seperti orang tuaku sendiri. Pada usianya yang ke-17 Annisa tumbuh menjadi gadis yang cantik, tidak kalah dengan gadis-gadis kulit putih Australia. Usiaku sendiri hampir menginjak tiga puluh dan jujur aku tidak bisa jatuh cinta pada gadis kulit putih. Karena sejak kecil mengasuh Annisa, aneh di hatiku tumbuh bibit-bibit cinta pada gadis itu. Betapapun aku tidak berani mengatakan dan tetap menyimpannya rapat-rapat dalam hati.
Rupanya Pak dan Bu Rahardi tahu isi hatiku. Mereka tahu aku menyayangi anaknya. Pada suatu malam pada kunjunganku di malam tahun baru Pak dan Bu Rahardi bertanya terus terang, maukah aku menjadi suami Annisa. Apa yang kurasakan Bonari? Aku seperti kejatuhan bulan. Benar.
Akhirnya aku dan Annisa pacaran. Namun demikian, aku tetap menjaga jarak dengan gadis kecilku itu. Betapapun dia adalah mutiara hidupku. Aku harus menjaganya, tidak boleh merusaknya. Pak dan Bu Rahardi berterima kasih kepadaku. Padahal, akulah yang harus berterima kasih kepada mereka.
Bonari. Di kala senggang aku membaca koran. Aku terkejut, Mr. Walcott ternyata tak jera mencederai anak-anak. Namun sepandai-pandai tupai melompat akhirnya akan jatuh juga. Di Manado beliau tertangkap basah sedang mengerjai seorang anak. Ditangkap polisi, diadili, dan dipenjara tiga tahun. Setelah bebas nanti beliau dilarang masuk ke Indonesia. Biar jadi pelajaran buat beliau.
Dan semalam, sebelum tidur aku membuka situs wisata di internet. Desa kita Widorokandang telah betul-betul menjadi kota wisata yang ingar-bingar. Tanda-tanda kehidupan desa sudah hilang sama sekali. Lahan-lahan penduduk sudah berganti pemilik dan menjadi tempat-tempat hiburan kelas dunia. Mata uang rupiah jarang digunakan, mata uang dollar gantinya. Para wisatawan asing, juga dari Australia, memenuhi setiap lorong di Widorokandang. Tidak ada lagi rumah penduduk, berganti hotel, bar, diskotik, café, panti pijat, casino, tempat pertunjukan tari erotis, dan segala tempat bagi para pemuja hawa nafsu. Lalu kau sekarang dimana, Bonari?