Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Masih Ada Asa yang Tersisa

25 Februari 2017   12:23 Diperbarui: 25 Februari 2017   12:52 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber: sesawi.net

MASIH ADA ASA YANG TERSISA

1

Susan memandangi stick drumband itu dengan nanar. Pikirannya tidak sedang tertuju pada derap irama yang harus dimainkannya pada genderang itu, tetapi pada seseorang yang selama ini mengganggu mimpi-mimpinya. Keruan saja, ketika pemimpin drumband itu memberi aba-aba untuk memulai setelah jeda panjang, ia kelimpungan beberapa saat. Setelah mengatur suasana hatinya, ia pun mampu mengikuti alur seirama teman-teman yang lain.

Dengan seragam putih abu-abu, berada di barisan depan kelompok drumband, ia nampak anggun. Rambutnya yang diikat seperti ekor kuda, dan wajahnya yang dipoles bedak tipis tanpa aksesories lain, menunjukkan kesederhanaan. Justru itulah yang membuat daya tarik tersendiri. Di kelas ia termasuk sepuluh besar di antara teman-temannya.

Sejak duduk di kelas terakhir, hatinya tertambat pada seseorang anggota kelompok fanfare. Mereka sering unjuk kebolehan bersama saat ada perhelatan akbar bagi kalangan pendidikan atau kotamadya dan pemerintah daerah. Sayangnya ia bertepuk sebelah tangan. Orang yang diharapkannya dapat menjadi sandaran hatinya ternyata lebih tertarik pada Pri, teman sekelasnya, yang dalam barisan drumband itu berada di sebelah kirinya.

Ia berada di barisan belakang pada kelompok fanfareyang memainkan musik tiup. Sekali-sekali ia memperhatikan rombongan drumband, dan secara khusus melirik orang yang berada di barisan depan. Susan merasa mendapatkan angin segar, walau dia tidak tahu siapa yang sebenarnya menjadi perhatian lelaki itu.

Lepas sekolah Susan mendapat tugas di Jember dan lelaki itu di desa Semboro yang jaraknya tidak terlalu jauh. Masih juga belum ngeh, saat lelaki itu berkunjung ke asrama, mata Susan nampak berbinar-binar saat bercerita tentang teman-temannya. Lelaki itu merasakan getaran hati Susan yang berbunga-bunga, namun ia hanya tersenyum hambar. Satu tahun bertugas, kemudian lelaki itu kembali ke Malang dan selanjutnya pindah ke Bandung untuk menyongsong ketidakpastian.

Dalam sebuah suratnya Susan menceritakan kalau ia akan menikah dengan seorang lelaki, yang katanya memang bukan dari Jawa asli, namun karena tidak ada kabar berita dari lelaki yang tak tahu diri itu, ia pun menempuh hidup baru. ***

2

“Kamu boleh pacaran dengan Regi, tapi ingat, dia kan masih kecil. Masih kelas enam. Kamu sebagai gurunya, harus menjaga dia, mengasuh dia, dan suatu saat kamu boleh memetiknya,” kata Mbak Nuk yang menjadi kepala sekolah di SD Swasta itu.

Janji Mbak Nuk itu kuingat selalu  dan kusimpan di pojok hati ini. Hitung-hitung menunggu enam tahun lagi tak apa, yang jelas Regi memang anak yang cantik, menarik dan memiliki banyak bakat.

Ketika ia mencurahkan isi hatinya, kalau ia tertarik dengan tetangga yang sekolah di tempat lain, aku hanya mengiyakannya. Aku berusaha membimbing dan mengarahkannya pada pergaulan yang sehat, walau dalam hati sendiri penuh gejolak. Untungnya, Regi percaya kepadaku, dan menganggapku sebagai saudara yang dapat menampung curahan hatinya. Ini tentu saja, berkat promosi kakaknya yang  sangat berharap kami dapat hidup bersama.

Kenangan bersama Regi memberikan gairah baru dalam hidup ini. Senyumnya, kemanjaannya, matanya yang bersinar saat kubawakan oleh-oleh saat mengunjunginya di rumah kakaknya, semua itu membekas teramat dalam. Kemanjaannya itu membuatku tak tahan untuk mendekapnya meski dia meronta-ronta dan memukul-mukul dada, meski dengan canda. Setelah lulus dari sekolah itu, Regi pindah ke kota Yogya untuk meneruskan sekolah. Mbak Nuk sendiri dimutasi ke kota Solo untuk menangani komunitas yang bergerak dalam pembangunan masyarakat.

Kami tak berkontak lagi. ***

3

May datang mengetuk hati ini saat kegiatan kaum muda berlangsung. Gadis dari Negeri Anging Mamiri yang berwajah Indo dengan rambut hitam panjang terurai sepanjang pinggang itu memang menarik perhatian bagi setiap lelaki yang menjumpainya. Lubang yang muncul di kedua pipi saat ia tersenyum membuat hati ini berdesir manakala berada di dekatnya.

Saat pandang ini beradu, ada getaran membuncah bergolak dalam hati berdua. Sepertinya ada gempa yang mengguncang dahsyat dalam hati ini. Ternyata tidak memerlukan waktu yang panjang. Tanpa kata, terjadilah kesepakatan berdua. Kami jalan bersama. Dalam kegiatan anak muda, dalam doa, dalam kunjungan, dalam kerja bakti dan dalam malam-malam minggu bersehati membunuh sepi.

Pernah pada suatu malam, kami ditinggalkan berdua di rumah yang begitu besar itu. Kau dapat membayangkan apa yang terjadi jika dua insan berlawanan jenis berada di sebuah kamar tanpa orang lain tahu. Ranjang, tembok, lemari pakaian dan hordeng jendela itulah yang menjadi saksi. Ternyata aku tak cukup punya nyali untuk merobek serpih-serpih sunyi. Setelah beradu dengkul kami pun tertawa bersama, lalu segera meninggalkan kamar itu menuju kursi ruang tamu sambil menunggu kedatangan saudaranya.

Saat seorang Paman memanggilku dan memperkenalkan seorang mahasiswi di tempat beliau mengajar, aku datang memenuhi panggilan itu. Upaya untuk mendekatkan gadis Bali yang cerewet dan membuat ramai suasana itu ternyata menjebolkan pertahanan kebimbanganku selama ini. Tiga bulan berikutnya Paman mengajakku ke Bali untuk melamarnya. Aku tak kuasa menolaknya.

Kemarahan May dilampiaskan dengan memecahkan kaca jendela kamar kos sewaktu aku tidak ada di tempat. Dendamnya dibawa lari ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Lalu setelah lulus ia kembali ke tanah tumpah darah untuk menjadi guru. ***

4

“Tiga bulan pertama, kau akan bercinta-cintaan habis-habisan. Tiga tahun berikutnya kau akan bertengkar habis-habisan. Jika kau berhasil melewati hal itu, maka tahun-tahun berikutnya kau akan saling dapat menerima diri masing-masing”. Begitu nasihat seorang teman saat aku dalam masa-masa membangun kehidupan menjadi keluarga muda. Aku tidak membantahnya, tetapi mencoba menjalaninnya dengan ikhlas.

Tahun-tahun berlalu meninggalkan jejak-jejak perjuangan yang penuh harapan dan janji. Tak pernah usai. Kami hadapi, hayati dan nikmati. Laksana mendayung sampan kecil dengan angin badai yang nyaris menenggelamkan sampan, kami masih bertahan dalam sisa-sisa tenaga yang ada. Sampan yang bocor, badai yang tak kunjung henti, membuat kami harus berlayar sambil terus menerus menambal kebocoran di sana sini.

Saat angin tenang dan gelombang jarang datang, muncul sesosok bayang yang mengajak merajut mimpi.

“Kita pindah saja dari desa ini, lalu kita ke Pak Penghulu!” ajak Rumanti, salah  seorang mahasiswi STAI.

Getir dan pahit rasa senyum ini. Hanya dalam hati aku berucap, “Memang semudah itukah menjalani hidup ini?  Memutarbalikkan fakta sambil berjalan dalam topeng-topeng kenelangsaan?”

Dalam hening kurenungkan, Rumanti tidak salah. Usia yang semakin merambat ditambah beban orangtua yang semakin berat membuat ucap tak lagi cermat.

Aku melambaikan tangan, sambil mengucapkan selamat jalan saat dia akan pergi ke Palembang memberikan tulang rusuknya yang ditemukan oleh seorang guru agama.

Saat aku menjadi anggota panitia lomba karaoke di tempat kerja, ada salah seorang peserta yang sempat mencuri hati ini. Karena berada dalam satu perusahaan yang sama, kami cepat akrab. Dia salah seorang peserta utusan dari cabang di luar kota. Suaranya memang pas-pasan, namun keramahan dan keterbukaan hatinya itu yang membuat kami semakin dekat. Kisah hidupnya mengalir seperti aliran Bengawan Solo yang memiliki riwayat masa kini. Dian telah menjalin hubungan dengan seorang pria yang dikenalkan saat kuliah di Kampus Biru. Tak lama lagi mereka akan membangun kebersamaan dalam rumah tangga.

Persahabatan kami sempat dicurigai oleh calon suaminya yang temperamental. Bahkan sampai pernah menyebarkan ancaman dan teror kepadaku untuk tidak mengganggu bakal teman hidupnya. Kami pun sadar, lalu merenggangkan hubungan, meski tak memutus tali persahabatan.

Pada saat buah cinta mereka sudah tumbuh berkembang menjadi bocah-bocah kecil, kami pun tetap dekat. Akhirnya, suaminya dapat menerimaku sebagai sahabatnya juga. Kami pernah bercanda ria dalam suatu pertemuan yang berkaitan dengan bisnis teman-temannya.

Setelah itu, kami lama tak jumpa. Kabarnya mereka pindah ke Jawa. ***

5

Suatu hari di pertengahan Februari, di kamar yang disesaki oleh buku-buku yang terletak tak beraturan, kembali aku membuka lembar-lembar buku kehidupan percintaanku. Pada lembar-lembar awal kudapati warna kusam dan penuh jelaga hitam. Ingin aku merobek dan membuangnya. Itulah lembar yang tak ingin aku mengingatnya lagi.

Pada lembaran lain terdapat nama Susan. Hingga kini nama itu masih terus tergiang karena kebodohanku sebagai lelaki yang tak tahu diuntung. Dengan Susan aku belajar banyak hal: kesederhanaan, kesabaran, daya tahan dan keikhlasan menjalani hari-hari perjuangan tanpa suami harus menafkahi empat  nyawa yang ditinggalkan tanpa kabar dan berita entah ke mana. Saat aku mengunjungi rumahnya di Jember, kami seperti kakak adik yang sudah lama tak jumpa. Usinya memang lebih tua dariku.

Lembar yang ada nama Regi tercatat sebagai isteri tukang mebel yang mapan. Dia sendiri menjadi perias pengantin, sesuai hobinya. Saat jumpa di rumah kakaknya yang meninggal beberapa waktu lalu, kubisikkan sebuah pinta, “Maafkan aku, kesalahanku. Jika kau tak memaafkannya, hidupku tidak akan tenang,” kataku sambil menatap wajahnya yang nampak hambar. Tak ada kata yang keluar, tetapi dengan memberikan nomor ponselnya itu cukup bagiku sebagai tanda pemberian maafnya. Aku lega dibuatnya, sebab pada pertemuan-pertemuan sebelumnya di Yogya  maupun di Bandung, dia selalu mmasang wajah acuh tak acuh. Kami tetap bersaudara, terlebih karena kakak-kakaknya yang menempatkan aku sebagai bagian dari keluarganya.

Lembar lain ada nama May. Saat dia ke Bandung dan tinggal di rumah kakaknya di pinggir kota, dia minta aku datang menjenguknya. Bahkan saat anak keduanya yang sedang kerja praktek lapangan di Jakarta, pernah menemuiku di Bandung. Aku menganggapnya sebagai anakku sendiri.  May pernah berkata, bahwa harapannya untuk menjalanai hidup bersama belum sirna. Aku hanya tertawa.

Lembar yang tertulis nama Dian, membuatku lama terdiam. Entah apa yang terjadi, mengeja nama ini  aku melafaskan sesal yang berjejal-jejal. Ia mengabarkan kalau saat ini ia sedang mengurus perceraiannya dengan ayah tiga anak yang menjadi beban tanggungannya. Untuk menghidupi ketiga anaknya, ia bekerja di sebuah perusahaan eceran di kota kelahirannya.

Aku menutup lembaran itu untuk memulai lagi menuliskan kisah berikutnya! ***

Bandung, 25-02-17                                           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun