Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Masih Ada Asa yang Tersisa

25 Februari 2017   12:23 Diperbarui: 25 Februari 2017   12:52 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tiga bulan pertama, kau akan bercinta-cintaan habis-habisan. Tiga tahun berikutnya kau akan bertengkar habis-habisan. Jika kau berhasil melewati hal itu, maka tahun-tahun berikutnya kau akan saling dapat menerima diri masing-masing”. Begitu nasihat seorang teman saat aku dalam masa-masa membangun kehidupan menjadi keluarga muda. Aku tidak membantahnya, tetapi mencoba menjalaninnya dengan ikhlas.

Tahun-tahun berlalu meninggalkan jejak-jejak perjuangan yang penuh harapan dan janji. Tak pernah usai. Kami hadapi, hayati dan nikmati. Laksana mendayung sampan kecil dengan angin badai yang nyaris menenggelamkan sampan, kami masih bertahan dalam sisa-sisa tenaga yang ada. Sampan yang bocor, badai yang tak kunjung henti, membuat kami harus berlayar sambil terus menerus menambal kebocoran di sana sini.

Saat angin tenang dan gelombang jarang datang, muncul sesosok bayang yang mengajak merajut mimpi.

“Kita pindah saja dari desa ini, lalu kita ke Pak Penghulu!” ajak Rumanti, salah  seorang mahasiswi STAI.

Getir dan pahit rasa senyum ini. Hanya dalam hati aku berucap, “Memang semudah itukah menjalani hidup ini?  Memutarbalikkan fakta sambil berjalan dalam topeng-topeng kenelangsaan?”

Dalam hening kurenungkan, Rumanti tidak salah. Usia yang semakin merambat ditambah beban orangtua yang semakin berat membuat ucap tak lagi cermat.

Aku melambaikan tangan, sambil mengucapkan selamat jalan saat dia akan pergi ke Palembang memberikan tulang rusuknya yang ditemukan oleh seorang guru agama.

Saat aku menjadi anggota panitia lomba karaoke di tempat kerja, ada salah seorang peserta yang sempat mencuri hati ini. Karena berada dalam satu perusahaan yang sama, kami cepat akrab. Dia salah seorang peserta utusan dari cabang di luar kota. Suaranya memang pas-pasan, namun keramahan dan keterbukaan hatinya itu yang membuat kami semakin dekat. Kisah hidupnya mengalir seperti aliran Bengawan Solo yang memiliki riwayat masa kini. Dian telah menjalin hubungan dengan seorang pria yang dikenalkan saat kuliah di Kampus Biru. Tak lama lagi mereka akan membangun kebersamaan dalam rumah tangga.

Persahabatan kami sempat dicurigai oleh calon suaminya yang temperamental. Bahkan sampai pernah menyebarkan ancaman dan teror kepadaku untuk tidak mengganggu bakal teman hidupnya. Kami pun sadar, lalu merenggangkan hubungan, meski tak memutus tali persahabatan.

Pada saat buah cinta mereka sudah tumbuh berkembang menjadi bocah-bocah kecil, kami pun tetap dekat. Akhirnya, suaminya dapat menerimaku sebagai sahabatnya juga. Kami pernah bercanda ria dalam suatu pertemuan yang berkaitan dengan bisnis teman-temannya.

Setelah itu, kami lama tak jumpa. Kabarnya mereka pindah ke Jawa. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun