Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Masih Ada Asa yang Tersisa

25 Februari 2017   12:23 Diperbarui: 25 Februari 2017   12:52 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

5

Suatu hari di pertengahan Februari, di kamar yang disesaki oleh buku-buku yang terletak tak beraturan, kembali aku membuka lembar-lembar buku kehidupan percintaanku. Pada lembar-lembar awal kudapati warna kusam dan penuh jelaga hitam. Ingin aku merobek dan membuangnya. Itulah lembar yang tak ingin aku mengingatnya lagi.

Pada lembaran lain terdapat nama Susan. Hingga kini nama itu masih terus tergiang karena kebodohanku sebagai lelaki yang tak tahu diuntung. Dengan Susan aku belajar banyak hal: kesederhanaan, kesabaran, daya tahan dan keikhlasan menjalani hari-hari perjuangan tanpa suami harus menafkahi empat  nyawa yang ditinggalkan tanpa kabar dan berita entah ke mana. Saat aku mengunjungi rumahnya di Jember, kami seperti kakak adik yang sudah lama tak jumpa. Usinya memang lebih tua dariku.

Lembar yang ada nama Regi tercatat sebagai isteri tukang mebel yang mapan. Dia sendiri menjadi perias pengantin, sesuai hobinya. Saat jumpa di rumah kakaknya yang meninggal beberapa waktu lalu, kubisikkan sebuah pinta, “Maafkan aku, kesalahanku. Jika kau tak memaafkannya, hidupku tidak akan tenang,” kataku sambil menatap wajahnya yang nampak hambar. Tak ada kata yang keluar, tetapi dengan memberikan nomor ponselnya itu cukup bagiku sebagai tanda pemberian maafnya. Aku lega dibuatnya, sebab pada pertemuan-pertemuan sebelumnya di Yogya  maupun di Bandung, dia selalu mmasang wajah acuh tak acuh. Kami tetap bersaudara, terlebih karena kakak-kakaknya yang menempatkan aku sebagai bagian dari keluarganya.

Lembar lain ada nama May. Saat dia ke Bandung dan tinggal di rumah kakaknya di pinggir kota, dia minta aku datang menjenguknya. Bahkan saat anak keduanya yang sedang kerja praktek lapangan di Jakarta, pernah menemuiku di Bandung. Aku menganggapnya sebagai anakku sendiri.  May pernah berkata, bahwa harapannya untuk menjalanai hidup bersama belum sirna. Aku hanya tertawa.

Lembar yang tertulis nama Dian, membuatku lama terdiam. Entah apa yang terjadi, mengeja nama ini  aku melafaskan sesal yang berjejal-jejal. Ia mengabarkan kalau saat ini ia sedang mengurus perceraiannya dengan ayah tiga anak yang menjadi beban tanggungannya. Untuk menghidupi ketiga anaknya, ia bekerja di sebuah perusahaan eceran di kota kelahirannya.

Aku menutup lembaran itu untuk memulai lagi menuliskan kisah berikutnya! ***

Bandung, 25-02-17                                           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun