Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahok, dan Kita pun Perlu Belajar Ini!

16 Desember 2016   13:27 Diperbarui: 16 Desember 2016   18:07 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara-suara sompral yang keluar dari suatu mulut itu tak banyak yang mengapresiasi. Ada banyak orang yang tersinggung oleh ucapan-ucapan Ahok yang terkesan kasar, keras dan blak-blakan tanpa tedeng aling-aling. Dia memang bicara apa adanya, tanpa tutup-tutup, polos... tulus.  Semua yang menyalahi aturan dan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati memang menyebalkan. Mereka yang tidak berusaha maksimal untuk mengembangkan talenta untuk bekerja sebaik-baiknya, memang layak ditindak.

Dalam relasi antarinsan memang ada hukum yang perlu dicermati. Banyak yang sudah ditulis, tetapi lebih banyak yang tidak ditulis. Kepekaan untuk menangkap kondisi dan situasi dan berusaha menanggapi secara pas, itu yang membuat relasi menjadi tetap baik.

Dle Carnegie dalam Golden Book, yang disarikan dari dua buku fenomenal:  Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain, serta  Petunjuk Hidup Tenteram dan Bahagia (PHTB), telah memebrikan arahan yang jelas sehingga dapat mengubah jutaan orang yang menerapkannya.

Dalam buku pertama dimuat  9 prinsip hubungan antarmanusia, 12 prinsip bekerja sama dengan orang lain dan 9 prinsip menjadi pemimpin. Ketiga puluh prinsip itu mengajak pembacanya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Pada buku kedua dimuat bagaimana cara mengatasi kecemasan, kekhawatiran dan ketidaknyamanan untuk mendapatkan hidup yang lebih tenteram dan bahagia.

Sembilan prinsip hubungan antarinsan yang dapat meredam benturan dan dapat diterima dengan baik adalah:  menghindari kebiasaah menyalahkan, mengomeli, mengritik (SOK = salahkan, omeli, kritik);  memberikan penghargaan secara tulus; memberikan dukungan agar orang lain berhasil; memberikan perhatian; senyum, mengingat nama seseorang; menjadi pendengar yang baik, berbicara sesuai minat orang lain; dan membuat orang lain merasa dirinya penting (nguwongke = memanusiakan orang lain).

Jauh sebelum Dale Carnegie, sebenarnya kakek moyang kita juga sudah memberikan pedoman bagaimana cara kita berelasi dengan orang lain. Dalam banyak hal kita memang perlu menyampaikan kebenaran, kejujuran dan ketulusan. Akan tetapi cara kita menyampaikan kebenaran, kejujuran dan ketulusan itulah yang seringkali menjadi masalah tersendiri. Apa yang seringkali ingin kita lakukan kepada orang lain dengan baik, ternyata diterima salah oleh orang lain. Memang tiap kepala memiliki cara berpikir masing-masing. Oleh karena itu ketika kita ingin menyampaikan kebenaran, kejujuran, kita  perlu menyampaikan secara pas, sehingga tidak menjadi benturan atau menimbulkan masalah baru.

Kebenaran dan kejujuran memang perlu disampaikan kepada orang lain. Nah, bagaimana cara menyampaikan kebenaran dan kejujuran itu  sehingga dapat diterima dengan suka hati oleh orang lain, itulah yang perlu kita cermati.

Menurut sahibul hikayat, dongeng-dongeng klasik yang telah disampaikan ribuan tahun yang sudah tidak diketahui lagi siapa yang menyampaikan pada awalnya, adalah sebuah kisah tentang kebenarandanibarat.  Begini kisahnya.

Suatu hari, Kebenaran pergi berjalan-jalan  dengan telanjang, selayaknya bayi yang baru dilahirkan. Apa yang terjadi? Orang-orang yang melihatnya malah berbalik lari menghindarinya. Tak seorang pun mau mengajak nya mampir ke rumah mereka. Kebenaran  merasa sedih dengan apa yang terjadi. Ia lalu menemui Ibarat. Ibarat selalu mengenakan pakaian indah penuh warna-warni.

Ketika melihat Kebenaran, Ibarat berkata, “Katakan apa yang membuatmu sedih sahabatku?”

Dengan getir Kebenaran menjawab, “ Saya sedih. Sangat sedih. Usiaku sudah sangat tua, namun tak seorang pun mau mengenaliku, bahkan menyapa ku pun tidak. Tak seorang pun mau menerimaku.”

Mendengar keluhan itu, Ibarat pun membalas, “Orang-orang itu menghindarimu bukan karena kau tua. Bukankah aku juga tua sebagaimana engkau? Namun, semakin tua usiaku, semakin banyak orang yang menyukaiku. Mari, aku sampaikan suatu rahasia. Setiap orang menyukai hal-hal yang sedikit saar-samar dan cantik. Mari, aku pinjami kau pakaian indahku ini, maka akan kau lihat orang-orang yang menyingkirkanmu tadi akan mengajakmu ke rumah mereka, dan senang dengan kehadiranmu”.

Lalu, Kebenaran mengikuti saran dari Ibarat. Ia mengenakan pakaian indah yang dipinjamnya dari Ibarat. Dan, sejak saat itu, Kebenaran dan Ibarat selalu berjalan bergandengan tangan.

Nah, saudara-saudara, seringkali kebenaran yang disampaikan secara langsung terasa menyakitkan, menakutkan dan tak dimengerti. Namun, kebenaran yang disampaikan di balik cerita dan kisah-kisah selalu mudah diterima tanpa harus merasa dinasihati.

Bagaimana tanggapan Anda ketika mendengar sebuah kisah tentang seorang buta yang berjalan pada malam gelap dan di tangan kirinya membawa sebuah  lampu penerang? Ketika orang-orang yang awas mengetahuinya an bertanya kepadanya, mengapa ia membawa lampu padahal ia tidak juga melihat, ia pun memberikan alasan. “Saya membawa lampu ini bukan untuk saya, tetapi untuk orang lain, supaya mereka tahu, bahwa saya tidak dapat menikmati cahaya dalam kegelapan ini!”

Begitu!

Sumber kisah: Mengukir Takdir, Kanisius, 2008.

Bandung, 16122106

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun