Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memilih yang Terbaik

9 November 2016   16:58 Diperbarui: 9 November 2016   17:06 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: sesawi.net

MEMILIH

Pada saat pemilu atau pilkada berlangsung,  ada banyak hal yang dapat kita saksikan. Ada banyak pemilih yang sudah terdaftar dan kemudian melakukan hak pilihnya sesuai dengan keinginannya. Ada yang memilih berdasarkan nama orang yang dikenalnya, ada yang memilih nama lembaga politik, sesuai dengan gambar partai. Ada juga yang memilih untuk menyaksikan saja proses pemilihan yang sedang berlangsung. Semuanya sah-sah saja.

Hasil dari proses memilih disebut: pilihan. Ada kepuasan tertentu saat kita telah memilih sesuai dengan keinginan, dan pilihan kita menjadi pemenang. Kita  menjadi lega, senyum sumringah atau berceloteh sukaria. Jika pilihan kita bukan menjadi pemenang, secara manusiawi kita kecewa. Namun kita tidak perlu bereaksi berlebihan. Pada saat seperti itu diperlukan kearifan untuk dengan legowo dan ikhlas mensyukuri hasil dan dampak dari pilihan kita.

Dengan demikian kita menjadi semakin dewasa dalam menjalani kehidupan yang pada hakikatnya memang merupakan proses memilih. Seperti yang sering kita dengar, “hidup ini adalah pilihan”. Maka menjadi penting untuk tidak salah menentukan pilihan, termasuk memilih tindakan.

Dalam hal bekerja pun demikian. Terlepas dari disiplin kerja, pada hakikatnya keberadaan kita di tempat kerja adalah karena kita memang memilih berada di situ. Padahal ada pilihan lain, yaitu berada di rumah atau di tempat lain. Selanjutnya kita harus siap karena tidak ada jaminan apakah hasil pekerjaan kita hari ini menjadi “pemenang” ataukah tidak, sekalipun kita telah melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Hal itu wajar saja, karena apa yang kita kerjakan merupakan rangkaian pekerjaan besar yang secara internal melibatkan banyak orang, termasuk rekan kerja, bahkan atasan. Bisa jadi hari ini ada di antara mereka yang kecewa.

Ada banyak pengalaman yang membuat kita dapat dengan bebas menentukan pilihan tindakan yang selanjutnya dapat kita laksanakan dengan lancar-lancar saja. Ada juga pengalaman yang membuat kita harus berjuang mati-matian untuk tetap setia dalam melakukan pilihan tindakan kita. Ada juga saatnya kita menghadapi pilihan yang sulit. Apalagi memilih seorang pemimpin yang akan menentukan hidup masa depan kita, baik sebagai pribadi, komunitas, warga maupun bangsa.

Pemimpin yang baik bukannya sekadar perintah dan marah-marah. Bukan pula memimpin dengan dua jari: telunjuk dan jempol, tetapi yang mengedepankan kepentingan bersama, mumpuni dalam mengatur, mengarahkan, menjadi teladan dalam pola pikir, pola ucap dan pola tindak,   mengayomi, melindungi, memotivasi dan bahkan menginspirasi.

Saya sendiri pernah dihadapkan pada pilihan yang sulit, dilematis dan sama-sama berisiko tinggi. Dalam hal seperti itu jujur saya katakan, ada rasa kegamangan, keraguan, kecemasan, kekhawatiran, was-was, takut bahkan merasa tak berdaya. Kadang ada rasa takut dan cemas menghadapi kenyataan yang seringkali kita bayangkan dalam persepsi kita sendiri. Kita seringkali takut dan cemas akan bayang-bayang yang kita ciptakan sendiri. Padahal belum tentu yang kita persepsikan itu benar. Pada saat-saat semacam itu saya diingatkan oleh berbagai referensi yang pernah saya dengar, baca dan  alami sendiri.

“Ketakutan itu harus dilawan!”

“Tanya pada diri sendiri kemungkinan terburuk yang bakal terjadi, siapkan mental untuk menghadapi kemungkinan terburuk itu, lalu perbaiki kondisi agar kemungkinan terburuk itu tidak terjadi”,  kata Dale Carnegie.

“Tuliskan segala kesedihan, termasuk segala hal yang mengganggu (juga ketakutan dan kecemasan) dalam selembar kertas, lalu larungkan ke sungai”, kata Paulo Coelho.

Jika jurus-jurus itu tidak mempan, saya hanya dapat berlari dan bersimpuh dalam kecerewetan doa. Dalam doa saya dapat menumpahkan segala bentuk kesedihan, ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, dan keragu-raguan dan segala perasaan yang menindih membebani hidup yang amburadul.

“Masukkan dalam kotak SFGTD (Something For God To Do), lalu ikhlaslah dalam iman”.

Masih ada satu lagi nasihat, “Biarlah waktu yang menjadi penyembuh abadi luka-luka itu...”

Kembali kepada pilihan, jika segala uneg-uneg kekecewaan, ketakutan, kekhawatiran dan segala beban itu sudah diungkapkan, pada saat itulah dibutuhkan kearifan untuk mengharapkan kekuatan dari Yang Maha Kuasa agar kita tetap mampu mensyukuri hasil atau dampak pilihan kita. Dengan demikian kita menjadi semakin dewasa dalam menjalani kehidupan yang pada hakikatnya memang merupakan proses memilih, memilih dan memilih, yaitu  memilih melakukan tindakan perbaikan terus-menerus.

Selamat memilih menjadi lebih baik dan lebih baik lagi...

Bandung, 8 November 2016.

Artikel yang ditanggapi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun