Juli 1961
Untuk pertama kalinya, saya menginjakkan kaki di Kota Bandung. Tepatnya di Jalan Kebon Jati, Stasiun Bis Antar-Kota. Dengan mengangkat sebuah koper dari kaleng yang isinya dua stel pakaian kerja, pakaian dalam dan sebuah sepatu “kelinci” merk Bata, saya menyusuri jalan sesuai dengan petunjuk yang diberikan kakak saya yang pernah tinggal di Bandung.
Mula-mula Jalan Belakang Pasar, masuk ke Jalan Oto Iskandardinata, terus ke Selatan, melewati perempatan Asia-Afrika, lalu ada perempatan lagi, yaitu Simpang. Di sana ada Toko Lima, lalu belok kiri – Jalan Dalem Kaum. Pas sampai di ujung, belok ke kanan, Jalan Dewi Sartika sampai perempatan belok kanan lagi, Jalan Abdul Muis. Di pertengahan Jalan Abdul Muis ada sebuah Gang kecil. Namanya Gang Muncang. Di sana tinggal bibi bersama suami, anak laki-laki kedua dan anak bungsu seorang perempuan, yang bernama Annie Di sanalah saya tinggal untuk menumpang beberapa lama.
Kedatangan saya ke Bandung bukan tanpa alasan. Sewaktu saya bekerja di Sukabumi, tidak sengaja saya melihat ada selembar koran nasional bekas yang tergeletak di meja. Saya lupa nama koran itu. Saat istirahat kerja saya coba membuka koran itu, dan saya menemukan ada sebuah lowongan pekerjaan di Bandung. Iseng-iseng saya melamar pekerjaan itu dan ternyata tidak berapa lama kemudian, saya mendapatkan panggilan. Dengan semangat empat lima saya pun berangkat ke Bandung. Hari Sabtu malam tiba di Bandung, dan hari Senin pagi, saya sudah diterima untuk bekerja.
Saya bekerja di toko “Havana” & Co, sebuah perusahaan Importir & Dealers Automotive Replacement parts, Accessories, Batteries, Lubrications Oil, Tyres & ETC. Tempatnya di Jalan Suniaraja 42-42A Bandung. Mengawali bekerja di tempat orang lain, dengan suasana baru, tentu saja harapan saya berbunga-bunga. Saya merasa senang dan sekaligus bersemangat untuk bekerja sebaik-baiknya. Pengalaman saya bekerja di Sukabumi, membuat saya tidak kikuk untuk bekerja, bahkan membuat saya sangat antusias karena menjumpai hal-hal baru.
Belum genap dua bulan saya bekerja di sana, cobaan datang pada saat Bos tugas ke Jakarta. Seseorang yang saya anggap sesepuh di sana, mendatangi ruang kerja saya dengan keakraban semu menyapa saya, “Hallo, Tjeng.. gimana? Sudah kau kuasai tugas-tugasmu?”
Saya menjawab, “Lumayan. Sepertinya masih banyak yang harus saya pelajari.”
Dia menarik kursinya, mendekat pada saya dan berkata lagi, “Rumahmu cukup jauh dari sini, kamu dikasih fasilitas sepeda. Lumayan berkeringat dan melelahkan sampai di rumah. Teman-teman di sini hampir semua sudah pakai motor.”
Saya menjawab, “Ini pake sepeda aja masih kaku. Di Sukabumi saya biasa jalan kaki.”
“Di sini ‘kan kota besar, kalau kamu mau keliling-keliling naik sepeda enggak akan keputar semuanya. Mau kamu punya motor?”
“Kredit maksudnya? Enggak ah! Saya masih punya tanggungan keluarga di Sukabumi. Cukup berat.”