Seiring dengan bergejolaknya politik di Indonesia, dan adanya pergantian Pemerintahan dari ”Orde Lama” ke “Orde Baru”, bermunculan pula penguasa-penguasa baru. Begitu juga hal yang terjadi di perusahaan kami, Manajer kami dicopot karena mempunyai perusahaan di dalam perusahaan. Saya ingat pada suatu pagi, ketika kami sedang berjemur menunggu Bos datang, saya dipanggil oleh Manajer untuk mendekat padanya di samping Gang Dahlan. Beliau mengancam saya, “Tjeng, kalau kamu masih betah kerja di sini turuti semua perintah saya. Saya berkuasa menjadikan kamu putih atau hitam. Jangan sekali-kali kamu mencampuri urusan saya! Ingat itu!“ Saya diam saja, karena saya memang sejak awal tidak mau mencampuri urusan orang lain. Tugas-tugas saya sendiri sudah cukup banyak dan berat.
Saya merasa kasihan sekali dengan kondisi perusahaan ini. Anak tunggal istri kedua dari Shanghay ini, pada awal tahun 1965 harus dideportasi, karena tidak mempunyai kewarganegaraan Indonesia. Tentu saja peristiwa ini membuat ibunya jatuh sakit. Pada awal tahun 1966 ibunya meninggal.
Encim ini sebelum meninggal melakukan pembersihan terhadap karyawan-karyawan yang tidak jujur. Mengetahui kondisi perusahaan yang semakin kacau, Bos saya memanggil pulang anak laki-laki pertama dari istri pertama, yang bekerja dan tinggal di Singapura. Kekuasaan perusahaan dialihkan kepada anak laki-laki pertama dari Singapura ini. Cabang perusahaan yang ada di Jakarta yang semula dipegang oleh anak angkat Bos, ditutup karena merugi.
Tahun 1966, Bos saya tiba-tiba sakit. Tak lama kemudian meninggal dunia. Apa yang terjadi ketika Bos meninggal di pagi hari sekitar pukul 10.00? Terjadi keributan besar di rumahnya yang sangat besar. Saya mengurus jenazah Bos, tetapi anak, menantu, tiga orang anak perempuan Bos dan anak-anaknya, ribut mencari kunci untuk membongkar lemari-lemari. Mereka berteriak-teriak histeris. Jenazah di tempat tidur tidak ada yang peduli.
Waktu itu saya sudah belajar agama Katolik. Saya tidak peduli dengan keributan di kamar Bos. Saya urus jenazah. Seprei yang berantakan, meja bekas obat-obatan, semua saya benahi, sehingga orang bebas berlarian di sana. Sesudah beres saya minta pembantu rumah tangga yang berkumpul di sana, kembali ke tugas mereka masing-masing. Saya sendiri melihat semuanya tidak terkendali. Saya putuskan untuk pulang ke rumah, sesudah menyerahkan kunci-kunci Toko kepada Bos muda yang datang dari Singapura. Beberapa hari perusahann tutup. Hal ini cukup bagi saya untuk merenungkan kata-kata dalam Alkitab, “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka”. (1 Tim. 6: 10).
Sesudah “badai berlalu”, saya mendapat kepercayaan dari bos muda. Saya sudah mempunyai kedudukan yang lumayan di perusahaan. Sudah boleh menerima telepon, menerima tamu perusahaan. Perusahan tempat saya bekerja adalah Kantor Pusat yang mempunyai dua cabang: Satu cabang di Jalan Hayam Wuruk 46 Jakarta, dan satu lagi di Kota Cirebon. Kedua-duanya ditutup karena merugi.
Pada tahun 1966 saya menjadi Manajer Umum Perusahaan Importir & Dealer Spare-parts dan Accesories mobil merk Chevrolet dan merk-merk lain seperti: Dodge, Chrysler. Selain menjadi Importir dan Dealer, perusahaan kami yang berkedudukan di Jalan Suniaraja Bandung, juga menjadi Supllier spare-parts pada Bengkel besar Angkatan Darat (Bengkel Kodam VI Siliwangi), Fuch & Rein Jalan Braga, dan satu perkebunan karet yaitu Mira-Mare di Garut Selatan.
Pada awal saya masuk bekerja, saya hanya diberi tanggung jawab sebagai pemegang Stock Card. Saya bertanggung jawab atas keluar masuk barang untuk dua buah gudang yang cukup besar. Seluruh laci di selasar bangunan di sana, juga menjadi tanggung jawab saya. Modal pengalaman kerja di Sukabumi selama 6 tahun lebih, rupanya tidak memadai. Penguasaan bahasa Inggris saya masih sangat minim untuk mengerti semua katalog barang-barang. Semua nama barang dan istilahnya menggunakan bahasa Inggris. Masalah pembukuan pun saya sama sekali buta.
Walaupun saya sadar, untuk menguasai keduanya modal saya pas-pasan, namun saya tetap bertekad untuk maju. Saya bertanya kiri-kanan untuk mendapatkan tambahan pengetahuan itu. Akhirnya saya mendapatkan tempat Kursus Bahasa Inggris dan Tata Buku. Tempatnya di samping Gedung PLN Jalan Cikapundung Barat. Namanya B.H.S. Guru Bahasa Inggris saya yang pertama Mr. Hasyim. Guru Tata Buku, Mr. Phoa. Untuk bahasa Inggris saya sempat memperdalam secara privat di Pouw Colege. Secara khusus saya belajar penguasaan bahasa teknik dan istilah-istilahnya. Untuk pelajaran Pembukuan saya mendapatkan guru yang hebat pada zamannya. Tahun 1966 saya sudah menguasai keduanya. Demikian pula untuk menjalankan manajemen perusahaan, saya sudah menguasainya.
Seperti yang dikisahkan oleh Pak Guido Iman Setiadi kepada penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H