“Enggak, kamu nanti sama saya pergi ke Show Room Motor. Ada Vespa, dan DKW-Sundap. Kamu tinggal pilih..., nanti urusannya saya yang selesaikan.”
“Saya nyicil kepada Bapa?“
“Enggak usah nyicil ke saya. Kamu hanya menyesuaikan stock card. Mengubah Faktur Penjualan... dihapus... sesuaikan dengan sisa barang. Sudah selesai!”
“Aduh... aduh ... Pak, saya tidak sanggup! Saya akan masuk penjara! Keluarga saya akan hancur semuanya. Maaf Pak, saya masih banyak pekerjaan.” Saya mengusirnya dengan sopan.
Kelihatan dia sangat tidak senang dengan jawaban dan tindakan saya. Saya ketakutan, karena Bapak ini orang kepercayaan Bos untuk berhubungan dengan Angkatan Darat. Malamnya saya gelisah... Mau minta tolong? Pada siapa? Kelihatan manajer saya juga takut pada Bapak ini. Berdoa?... Pada siapa? Saya belum percaya pada Tuhan, apalagi yang disebut Bunda-Nya. Saya belum kenal. Keluarga bibi, yaitu bibi, suami, anak laki-laki kedua dan Ani, baru mulai mengikuti pelajaran agama Katolik. Empat tahun kemudian Ani dibaptis di Waringin. Nama baptisnya Lidwina. Papi dan maminya kemudian dibaptis di Gereja St. Paulus Mohamad Toha. Tinggal saya dan kakak laki-lakinya belum dibaptis. Bahkan saya tetap membenci agama itu. Waktu itu saya menganggap mereka itu termasuk golongan borjuis, orang-orang kaya yang memisahkan diri dari orang miskin. Hidupnya kebarat-baratan. Saya sering mengejek Ani. Sering juga saya membuat anak itu menangis. Dia baru berusia 13, saya 22.
Karena beban keluarga saya begitu berat, juga pengalaman saya keluar masuk Kantor Polisi dan Penjara, saya tetap pada pendirian saya. Tidak mau menuruti keinginan Bapak sesepuh itu. Ternyata di dalam perusahaan ini sangat.. sangat hebat kebobrokannya...
Pada waktu itu saya tidak tahu apa penyebab semua kerusakan ini. Semuanya seperti dibuat sedemikian rupa. Barang-barang spare-parts tumpang tindih, bahkan bercampur dengan barang-barang besi, dan semua nampak seperti dirusak sedemikian rupa. Sepertinya barang-barang itu disiram dengan accu zuur sehingga orang menjadi malas untuk membereskannya. Apalagi harus bersentuhan dengan besi/dus yang sengaja disiram accu zuur. Air keras itu dapat mengakibatkan penyakit. Jika accu itu mengenai kulit, maka kulit akan terasa gatal-gatal. Kalau accu itu mengenai pakaian, pasti pakaian itu akan rusak dan bolong-bolong. Saya merasa terpanggil untuk membereskan dan menyusun barang-barang itu sebagaimana mestinya.
Untung bagi saya, anak Bos dari istri kedua sangat mendukung saya. Semua hasil kerja, saya laporkan padanya. Ternyata yang bertindak melakukan pembersihan di dalam perusahaan adalah istri kedua Bos saya. Dari karyawan atau pesuruh yang setiap pagi membelikan sarapan pagi, bagian penagihan, terus dan terus tertangkap tangan melakukan pencurian secara berjamaah. Dengan cara nekad, mereka melakukannya. Barang-barang yang cukup berat diikatkan di betis bawah kaki. Yang ringan tapi berharga dimasukkan ke dalam kaos dalam. Hampir semua karyawan inti, termasuk Wakil Manajer terlibat dalam kasus pembobolan perusahaan.
Bos saya orang yang benar-benar kaya dalam harta. Dia merupakan Tokoh dan Penatua Jemaat di sebuah Gereja besar di Jalan Gardujati. Dia mempunyai perusahaan Impor, dealer yang berpusat di Jalan Suniaraja dengan cabang di Jakarta dan Cirebon. Pompa bensin di Simpang Lima, juga miliknya. Pabrik sepeda di Jalan Raya Barat, juga miliknya. Sekarang pabrik itu menjadi dealer Mercedes Benz. Harta lainnya adalah berupa sebidang tanah yang luas di Bundaran Jalan Raya Barat, dan masih ada yang lainnya.
Istrinya yang kedua “diimpor” dari Shanghai. Dia adalah Bintang Opera Cina Daratan. Grup opera atau kelompok sandiwara, berikut para pemainnya itu diboyong dari Shanghai ke Indonesia dibeli dari seorang “Mamy”. Mami ini ditempatkan di rumah mewah di Gang Dahlan, sementara bintang Opera “disimpan” di Jalan Moh Iskak Kebon Kawung. Rupanya istri cantik, yang tak lain bintang Opera ini, tidak memuaskan nafsu sang Bos.
Tidak berapa lama lagi, ia mengambil seorang istri lain dari orang pribumi asli. Ia adalah anak seorang perempuan yang tinggal di kampung. Anak perempuan itu diambil, dijadikan istri, sementara ibunya dipulangkan ke kampung. Sebagai gantinya, kakak isterinya itu dipekerjakan di perusahaan. Ia dipercaya untuk bekerja di bagian keuangan perusahaan, dan melakukan penagihan. Sepertinya semua itu, masih belum cukup. Masih banyak hal yang dilakukan dengan lebih keji lagi. Pada saat usia tua merambah dosa-dosanya pun bertambah. Cabang Jakarta salah urus, sampai mengakibatkan semua karyawan di-PHK, dan barang-barangnya ludes. Sementara Cabang di Cirebon dan POM Bensin Simpang Lima, dijual. Terakhir yang dijualnya adalah pabrik sepeda di Jalan Raya Barat itu. Toko di Jalan Hayam Wuruk Jakarta, tetap menjadi milik Bos baru dari Singapura, dan tidak beroperasi lagi.