Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Botram

9 Juli 2016   16:08 Diperbarui: 9 Juli 2016   16:14 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelaurga besar D. Kasmita. Foto: Irvan Apriludin.

Istilah botram  atau ngabotram, bagi sebagian besar masyarakat Sunda bukanlah hal yang asing lagi.  Istilah ini merujuk pada sebuah kegiatan makan bersama yang dilakukan di luar rumah, seperti di  halama, di kebun, di hutan, di pegunungan, di pantai, dan sebagainya, yang bertujuan rekreasi sambil mempererat rasa kekeluargaan. Ada kebiasaan bagi  masyarakat Sunda melakukan kegiatan  ngabotram sebelum bulan puasa atau sesudah lebaran. Acaranya sendiri bersifat informal, santai, penuh kehangatan persaudaraan dan kekeluargaan.

            Menurut Noor Family, istilah botram kemungkinan besar berasal dari kata Bahasa Belanda “boterham” yang berarti “irisan roti isi mentega dan ham”. Dulu, pada masa penjajahan Belanda, orang-orang Belanda sering piknik di taman dan membawa bekal berupa roti. Makanan tersebut dimakan pada saat piknik. Orang-orang Sunda melihatnya, lalu oleh proses sejarah kata ‘boterham’ disesuaikan dengan lidah Sunda menjadi “botram” yang memiliki arti “makan bersama di luar rumah sambil menggelar tikar.”

Orang Sunda gemar sekali melakukan botram. Botram bagi orang Sunda memiliki arti kebersamaan dalam kesederhanaan. Hal ini tercermin dari menu makanan yang disediakan untuk botram. Menu makanan yang dibawa untuk botram biasanya : nasi timbel, nasi putih atau merah dibungkus daun pisang dengan cara  menggulungnya, dan pada ujung-ujung daun dilipat-lipat ke dalam sedemikian rupa sampai rapi. Atau nasi liwet, nasi yang diberi bumbu dan ikan asin yang dimasak dalam kastrol (ketel untuk memasak nasi liwet), sambel lalap, ikan asin, tumisan, tahu/tempe, ayam goreng atau gepuk.

Jika botram dilakukan bersama teman atau keluarga besar biasanya setiap anggota akan urunan membawa makanan, misalnya ada yang hanya membawa nasi timbelnya, atau hanya membawa sambel lalap dan seterusnya. Makanan tersebut dikumpulkan dan dimakan bersama-sama. Di sinilah terletak kebersamaannya. Jenis makanannya pun sederhana saja, yang penting ada nasi, sambel lalap dan ikan asin juga cukup.

Di kebun Mang Asep Mulyana yang terletak di Pegunungan Cakrabuana, Desa Lemahputih, Kecamatan Lemahsugih, Kabupaten Majalengka, sehari setelah Lebaran kedua, keluarga besar Abah D. Kasmita melakukan botram. Keluarga itu terdiri atas Abah dan  Emak serta anak cucu, yaitu Kel. Wak Endim - Nyai Ukoi dengan anak: Popong, Cucu dan Irvan Apriludin ditambah menantu: Dodi, Indra dan 5 orang  cucu; Kel. Hitob - Euis dengan 2 anak: Yayang dan Agung; Kel. Asep - Dewi, dan 2 orang anak: Marshal dan Oriana; Kel.  Napih - Neng Dewi, dan keluarga Lilis, dengan 2 orang anak: Sura dan Iyan. Masih ada dua cucu Abah, yaitu Yuni Hartati, dari Bekasi, ayah dan mamanya sudah pulang duluan sewaktu lebaran kedua; dan Gan Gan, anak Kel. Agus Saleh, yang juga sudah pulang ke Bandung duluan bersama istri dan dua orang anaknya. Jumlah semua peserta botram 30 orang.

Lokasi yang dituju terletak sekitar 15 km dari Kampung Medarjaya, Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang, tempat keluarga besar Abah Kasmita berkumpul. Kampung Medarjaya ini dekat waduk Jatigede yang saat ini sedang menjadi berita hangat karena masyarakat yang terkena dampak.

Perjalanan ditempuh dengan kendaran Daihatsu Zebra 2003, bak terbuka, Suzuki Sidekick, dan Sedan Vios. Kendaraan itu disediakan untuk para orang tua, sedangkan  6 unit motor lagi dikendarai oleh anak-anak dan cucu-cucu. Zebra bak terbuka itu disupiri oleh Mang Asep. Di sampingnya duduk isterinya yang menggendong Oriana, 4 thn. Di bak terbuka itu terdapat  perabotan yang berupa beras, kastrol, wajan, panci,  cowet, ulekan, piring, bumbu-bumbu, kangkung, kecap, tikar, air mineral, ikan mas dalam kantong plastik besar berisi air, yang sewaktu-waktu masih kokolojotan, gedubrakan dalam tempat yang sempit itu. Di samping itu mash ada 3 penumpang, Gan Gan, Lilis dan yang menulis laporan ini.

Suzuki Sidekick dikendarai oleh Indra, yang mengangkut Cucu sang istri, dan anak-anak, serta Wak Ukoi, Popong dan anak-anaknya. Di sedan Vios, Napih sebagai supir, didampingi istrinya, Neng Dewi, dan di belakang duduk Abah Kasmita dan Emak. Yang lainnya, naik sepeda motor.

Kami berangkat pukul 10.00 WIB. Sepanjang jalan kami melewati sawah dan hutan. Jalan berkelok-kelok, banyak tanjakan dan turunan tajam, kadang di kiri atau kanan terdapat jurang menganga.  Dibutuhkan kemahiran mengemudi, di samping kesabaran dan kewaspadaan. Jalan yang sempit itu hanya pas untuk dua kendaraan roda empat yang berpapasan berlawanan arah. Pemandangan pegunungan yang indah, sawah yang masih ijo royo-royo membuat mata sejuk. Semilir angin pegunungan yang menerpa membuat perjalanan semriwing menyegarkan.

mobil-mogok-5780bc50a223bd1305a71bf1.jpg
mobil-mogok-5780bc50a223bd1305a71bf1.jpg
Gbr. Zebra yang mogok, yang lain jadi tukang parkir. Foto: Irvan Apriludin

Di tanjakan kedua Desa Margajaya, Zebra bak terbuka itu mogok. Penumpang di bak belakang segera meloncat turun. Gan Gan dan saya segera mencari batu untuk pengganjal ban belakang. Mesin mobil kelihatan panas berasap, dan setelah dicek, ternyata air radiatornya kosong... Hwalah... untung tidak terbakar. Setelah diisi dengan air persediaan ditambah dengan air mineral yang dibawa, mesin didinginkan dulu. Setelah beberapa lama, Mang Asep coba menghidupkan mesin, tapi tidak berhasil. Di tengah berseliwerannya kendaraan yang lalu lalang, karena ini jalan alternatif dari Wado ke Majalengka,  Indra mengambil alih posisi sopir. Mobil pun distarter lagi. Beberapa kali baru.. on. Gegara persneling suka lepas, dan tidak pas masuk ke gigi, maka kadang jika tidak hafal, mobil bisa mogok lagi. Setelah merasa pasti mobil bisa jalan lagi, mobil pun didorong ke jalan yang datar, lalu dengan pelahan bak terbuka itu pun ngeloyor, disusul Sidekick dan para motor.

Tiba di lokasi jam 11.00 karena ada yang mogok. Segera barang-barang perbekalan diturunkan untuk diangkut menggunakan motor ke tekape. Meskipun jalan di kebun itu licin dan kadang banyak galengan, tapi motor-motor itu coba menerobos jalanan di kebun yang banyak galengan karena tanah itu dipetak-petak, toh motor-motor itu coba mencari-cari jalan yang dapat dilewati, sampai akhirnya hanya beberapa meter dari lokasi kebun tempat kami menggelar tikar dan berkumpul.

Kebun Mang Asep seluas 3,5 ha itu di kaki pegunungan Cakrabuana itu ditanami pohon jati putih, kayu putih, jambu kristal, kopi, waluh kabocha, labu siyem, cabe rawit,  sawi, talas, kacang panjang, bawang daun dan ubi Cilembu. Masih ada kolam ikan yang ditanami mujair dan nilem.  Tempatnya sejuk, pemandangannya indah. Jalanan yang berkelok-kelok, banyak turunan dan tanjakan itu, jika dilihat dari ketinggian tertentu seperti ular panjang yang melingkar-lingkar.

bakar-ikan-irvan-5780c028f59273531263a52f.jpg
bakar-ikan-irvan-5780c028f59273531263a52f.jpg
Wak Nyai dan Indra sedang membakar ikan. Foto: Irvan Apriludin

Di tekape, tanpa dikomando, sepertinya masing-masing orang sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk kebersamaan itu. Beberapa orang lelaki dengan prigelnya membuat lubang di tanah tempat perapian untuk memasak sayur, menanak nasi liwet dan membakar ikan. Yang lain sibuk mengambil kayu-kayu untuk bahan bakar, memanggulnya dan membawa ke tempat perapian. Ada yang  membersihkan ikan, dan membumbuinya. Setelah tiga tempat perapian siap untuk dimanfaatkan, ada yang langsung menempatkan ikan-ikan yang sudah dibumbui itu ke tempat pembakaran ikan, lalu membakarnya. Ada yang memasak nasi, ada yang menjaga agar api terus menyala dengan stabil, dengan menambahkan kayu bakar, ada juga yang menumis kangkung. Ibu-ibu menggelar tikar, mencari dedaunan untuk lalaban serta membuat sambal terasi atau sambal kecap, sementara anak-anak muda dan anak-anak kecil bermain-main dan berkejar-kejaran.  

botram1-5780bcc161afbd1c084b76eb.jpg
botram1-5780bcc161afbd1c084b76eb.jpg
Gbr. Indahnya kebersamaan. Foto: Irvan Apriludin

Setelah semua yang dimasak siap disantap, maka  Mang Asep dan Wak Endim segera menebas daun pisang. Empat lembar daun pisang itu segera digelar memanjang. Di atas daun pisang itulah ibu-ibu menempatkan nasi yang sudah masak itu, sementara semua orang duduk di sepanjang sisi-sisinya. Tanpa basa-basi, dengan mengucap doa dalam hati masing-masing mereka pun siap mengisi perut masing-masing. Di depan mereka nasi yang masih mengepul panas itu tergunduk. Ikan bakar segera diedarkan, lalu sambal terasi, sambal kecap, lalaban, tumis kangkung, semua beredar dan masing-masing orang makan dengan lahapnya.

Ritual botram ini mengingatkan kebersamaan dalam kehangatan persaudaraan. Tidak ada yang rebutan makanan atau lauk pauk, sebab setiap kali nasi yang ada di depan setiap orang berkurang, ada tangan-tangan yang selalu menambahkannya. Demikian pula dengan lauk pauknya. Kadang memang ada yang meminta, mana ikan bakarnya, mana sambalnya, mana ikan asinnya,... tapi itu semua tak berlangsung lama sudah terpenuhi...

Satu per satu, orang yang sudah merasa kenyang pun mundur dari barisan duduk, lalu mencari tempat lain untuk menurunkan nasi dalam perut ... istirahat, menikmati semilirnya angin di bawah kerindangan pohon jati. Nikmatnya memang tak tergantikan.

Setelah semua merasa kenyang, dan nasi di daun pisang sudah habis, ikan tinggal tulang-tulangnya saja, maka semua sisa-sisa itu dikumpulkan, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik, lalu dibawa ke kolam. Giliran ikan-ikan di dalam kolam yang mendapatkan jatah makan mereka, sekalipun ada tulang-tulang “saudaranya” yang “terpaksa” harus  dimakan. Hahaha... kanibal!

botram-irvan-5780bd8adc22bd1b0812c8b0.jpg
botram-irvan-5780bd8adc22bd1b0812c8b0.jpg
Indahnya botram. Foto: irvan Apriludin

Istirahat, menikmati udara segar yang bebas polusi, sambil menikmati pemandangan indah yang menyejukkan, kami semua pun mengucap syukur atas kebersamaan, kehangatan persaudaraan dan kekeluargaan yang kental ini.

Matahari pun merangkak. Setelah mengemasi barang-barang perabotan, dan tak lupa menjaga kebersihan lingkungan, sampah-sampah dari plastik pun dikumpulkan di satu tempat, lalu dibakar.

Jalan pulang kembali ke rumah lebih menyenangkan. Perut kenyang, semuanya oke, jalanan lebih banyak menurun, meski banyak kendaraan yang berseliwearan, tapi kami tak terjebak macet. Lalu lintas ramai lancar. Sebelum ashar, kami sudah sampai di rumaah masing-masing.

Terima  kasih Tuhan, atas botram yang menghangatkan.

Medarjaya, 9 Juli 2016.

Rujukan:

         

https://komunitasaleut.com/2014/07/07/asal-usul-bancakan-dan-botram/

https://noorfamily.wordpress.com/2013/02/28/2-botram-part-1/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun