Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Botram

9 Juli 2016   16:08 Diperbarui: 9 Juli 2016   16:14 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tanjakan kedua Desa Margajaya, Zebra bak terbuka itu mogok. Penumpang di bak belakang segera meloncat turun. Gan Gan dan saya segera mencari batu untuk pengganjal ban belakang. Mesin mobil kelihatan panas berasap, dan setelah dicek, ternyata air radiatornya kosong... Hwalah... untung tidak terbakar. Setelah diisi dengan air persediaan ditambah dengan air mineral yang dibawa, mesin didinginkan dulu. Setelah beberapa lama, Mang Asep coba menghidupkan mesin, tapi tidak berhasil. Di tengah berseliwerannya kendaraan yang lalu lalang, karena ini jalan alternatif dari Wado ke Majalengka,  Indra mengambil alih posisi sopir. Mobil pun distarter lagi. Beberapa kali baru.. on. Gegara persneling suka lepas, dan tidak pas masuk ke gigi, maka kadang jika tidak hafal, mobil bisa mogok lagi. Setelah merasa pasti mobil bisa jalan lagi, mobil pun didorong ke jalan yang datar, lalu dengan pelahan bak terbuka itu pun ngeloyor, disusul Sidekick dan para motor.

Tiba di lokasi jam 11.00 karena ada yang mogok. Segera barang-barang perbekalan diturunkan untuk diangkut menggunakan motor ke tekape. Meskipun jalan di kebun itu licin dan kadang banyak galengan, tapi motor-motor itu coba menerobos jalanan di kebun yang banyak galengan karena tanah itu dipetak-petak, toh motor-motor itu coba mencari-cari jalan yang dapat dilewati, sampai akhirnya hanya beberapa meter dari lokasi kebun tempat kami menggelar tikar dan berkumpul.

Kebun Mang Asep seluas 3,5 ha itu di kaki pegunungan Cakrabuana itu ditanami pohon jati putih, kayu putih, jambu kristal, kopi, waluh kabocha, labu siyem, cabe rawit,  sawi, talas, kacang panjang, bawang daun dan ubi Cilembu. Masih ada kolam ikan yang ditanami mujair dan nilem.  Tempatnya sejuk, pemandangannya indah. Jalanan yang berkelok-kelok, banyak turunan dan tanjakan itu, jika dilihat dari ketinggian tertentu seperti ular panjang yang melingkar-lingkar.

bakar-ikan-irvan-5780c028f59273531263a52f.jpg
bakar-ikan-irvan-5780c028f59273531263a52f.jpg
Wak Nyai dan Indra sedang membakar ikan. Foto: Irvan Apriludin

Di tekape, tanpa dikomando, sepertinya masing-masing orang sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk kebersamaan itu. Beberapa orang lelaki dengan prigelnya membuat lubang di tanah tempat perapian untuk memasak sayur, menanak nasi liwet dan membakar ikan. Yang lain sibuk mengambil kayu-kayu untuk bahan bakar, memanggulnya dan membawa ke tempat perapian. Ada yang  membersihkan ikan, dan membumbuinya. Setelah tiga tempat perapian siap untuk dimanfaatkan, ada yang langsung menempatkan ikan-ikan yang sudah dibumbui itu ke tempat pembakaran ikan, lalu membakarnya. Ada yang memasak nasi, ada yang menjaga agar api terus menyala dengan stabil, dengan menambahkan kayu bakar, ada juga yang menumis kangkung. Ibu-ibu menggelar tikar, mencari dedaunan untuk lalaban serta membuat sambal terasi atau sambal kecap, sementara anak-anak muda dan anak-anak kecil bermain-main dan berkejar-kejaran.  

botram1-5780bcc161afbd1c084b76eb.jpg
botram1-5780bcc161afbd1c084b76eb.jpg
Gbr. Indahnya kebersamaan. Foto: Irvan Apriludin

Setelah semua yang dimasak siap disantap, maka  Mang Asep dan Wak Endim segera menebas daun pisang. Empat lembar daun pisang itu segera digelar memanjang. Di atas daun pisang itulah ibu-ibu menempatkan nasi yang sudah masak itu, sementara semua orang duduk di sepanjang sisi-sisinya. Tanpa basa-basi, dengan mengucap doa dalam hati masing-masing mereka pun siap mengisi perut masing-masing. Di depan mereka nasi yang masih mengepul panas itu tergunduk. Ikan bakar segera diedarkan, lalu sambal terasi, sambal kecap, lalaban, tumis kangkung, semua beredar dan masing-masing orang makan dengan lahapnya.

Ritual botram ini mengingatkan kebersamaan dalam kehangatan persaudaraan. Tidak ada yang rebutan makanan atau lauk pauk, sebab setiap kali nasi yang ada di depan setiap orang berkurang, ada tangan-tangan yang selalu menambahkannya. Demikian pula dengan lauk pauknya. Kadang memang ada yang meminta, mana ikan bakarnya, mana sambalnya, mana ikan asinnya,... tapi itu semua tak berlangsung lama sudah terpenuhi...

Satu per satu, orang yang sudah merasa kenyang pun mundur dari barisan duduk, lalu mencari tempat lain untuk menurunkan nasi dalam perut ... istirahat, menikmati semilirnya angin di bawah kerindangan pohon jati. Nikmatnya memang tak tergantikan.

Setelah semua merasa kenyang, dan nasi di daun pisang sudah habis, ikan tinggal tulang-tulangnya saja, maka semua sisa-sisa itu dikumpulkan, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik, lalu dibawa ke kolam. Giliran ikan-ikan di dalam kolam yang mendapatkan jatah makan mereka, sekalipun ada tulang-tulang “saudaranya” yang “terpaksa” harus  dimakan. Hahaha... kanibal!

botram-irvan-5780bd8adc22bd1b0812c8b0.jpg
botram-irvan-5780bd8adc22bd1b0812c8b0.jpg
Indahnya botram. Foto: irvan Apriludin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun