Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surga yang Hilang (2)

23 Mei 2016   18:28 Diperbarui: 23 Mei 2016   18:40 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surga yang hilang (2)

Dengan berjalannya waktu saya mampu menyeberangi sungai yang sedang banjir. Saya belajar dari kearifan penduduk sederhana. Jika saya mau menyeberangi sungai yang sedang banjir, saya harus berjalan ke arah utara sungai sekitar 10 meter. Saya mengikuti derasnya arus, seperti perahu mengikuti arus. Sesekali saya menekankan kaki pada saat berada di atas batu yang sudah saya hafal letaknya. Kecepatan arus juga sudah saya perhitungkan, sehingga pada saat melangkah dari batu ke batu lain, saya dapat melakukannya dengan baik, sampai akhirnya tiba di seberang. Jika menyeberangi sungai pada saat banjir, sebaiknya tidak membawa beban.

Pada musim penghujan banyak hal yang harus saya pelajari dan saya ingat dengan baik. Tanpa pengetahuan yang cukup kita akan mendapatkan kesulitan. Melintas di pematang sawah yang kecil dan licin, perjalanan harus lebih cepat dari yang biasa karena air hujan dan rasa dingin bisa menembus sampai ke tulang-tulang. Bagi kami tidak ada masalah, karena kami biasa tidak pernah menggunakan sandal atau sepatu. Kami berjalan tanpa alas kaki   ke mana pun kami pergi. 

Alam mengajarkan kepada kami untuk  mengatasi kesulitan-kesulitan dengan cara-cara alamiah. Untuk melintas di pematang sawah yang kecil dan licin, kami cukup melatih jempol kaki ditekuk sekian derajat ke bawah hingga dapat mencengkeram tanah yang lembek. Dengan demikian kami bisa berlari kecil dan cepat sampai. Nah, dalam hal ini kolam-kolam di depan rumah masing-masing berguna untuk membersihkan lumpur yang nempel di kaki dan celana agar tidak terbawa ke dalam rumah. Inilah yang sekarang mungkin telah dilupakan. Air yang demikian sangat berharga tidak terbuang dengan percuma karena  ada penampungan yang dapat digunakan lagi.

Di desa kami hampir tidak mengenal payung atau jas hujan. Jika hari hujan,  pergi atau pulang sekolah biasanya kami menggunakan daun pisang atau daun talas yang lebar. Itu sudah cukup. Kalau hujannya disertai dengan angin yang cukup kencang pada saat bersamaan juga musim buah, maka buah-buah mangga terutama yang terdapat pada hampir tiap halaman rumah atau belokan jalan akan berserakan begitu saja. Siapa pun boleh mengambilnya dengan memilih mana yang dia suka. Kami semua di sana tidak pernah memiliki rasa serakah untuk disimpan atau dijual. 

Cukup untuk dimakan seperlunya, tidak pernah ada yang sampai terbuang. Demikian juga jika ada orang yang memanen ikan di sawah. Kami turut membantu membuat parit-parit, dengan mengangkat jerami bekas padi yang sudah busuk, ke samping kiri-kanan, sehingga air terarah pada satu tempat yang sudah dilebarkan. Dengan mudahnya menggiring ikan-ikan besar untuk dipanen. Ikan-ikan kecil dan yang tidak ditanam, seperti ikan mujair dan boboso (gabus) setelah dipisahkan dari ikan mas yang ditanam, pemilik akan mempersilahkan kepada yang membantunya untuk mengambil semaunya.

Seringkali saya ditinggal sendiri di rumah karena semua pergi ke Sukabumi. Saya  dititipkan kepada ibu sepuh di rumah sebelah. Ibu tetangga itu sangat sayang pada saya. Apa lagi beliau hanya mempunyai dua anak perempuan dan dua orang cucu dari puterinya yang pertama. Di kemudian hari anaknya yang kedua ini menikah dengan kondektur bis THE & SONEN yang kebetulan bibirnya sumbing. Yang tidak dapat saya lupakan sampai sekarang yaitu, ketika ibu ini menggendong cucunya di sore hari sering menyanyikan sebuah, lagu keagamaan: “Allah huma soli, Alaihim wa salam..

Walaupun saya sering ditinggal sendiri, buat saya tidak ada masalah, karena saya sudah terbiasa menyendiri. Karena itulah saya dapat menjelajahi  hutan lebat yang mengelilingi teluk Cisolok, sampai ke hulu sungai. Di sana terdapat air panas yang keluar dari sebuah kawah yang lebarnya sekitar enam meter. Ada gelembung-gelembung yang menyebarkan bau belerang, dan  airnya sangat panas. Jika kita menaruh telur di sana dalam hitungan menit, telur sudah siap disantap. Memang di sekitar kawah ini terlihat agak tandus, tapi beberapa puluh meter ke Selatan airnya menjadi hangat dan selanjutnya menjadi dingin.

Dari atas kawah ini saya dapat melihat suatu keajaiban alam yang menakjubkan. Air mengalir yang tadinya tidak terlalu besar, semakin ke Selatan semakin besar dan menjadi sungai yang begitu besar. Sungai itu berkelok-kelok. Di sekitar daerah aliran sungai itu terdapat kesuburan yang benar-benar menakjubkan.

Ada dua jalan yang dapat dilalui menuju ke puncak kawah ini. Pertama, dari sebelah Barat,  melalui lapangan tempat perhentian bis, kemudian melaui pesawahan dan hutan tidak terlalu lebat. Yang lain dari arah sebelah Timur melewati sekolah. Menjelajahi hutan inilah yang menjadi kesenangan saya berpetualang. Hutan  ini dihuni oleh berbagai satwa liar, tapi juga menyediakan buah-buahan yang nampaknya tak akan ada habisnya. Air minum juga  melimpah, karena berasal dari akar pohon yang  banyak ditemui bergelantungan dari pohon-pohon besar yang sangat rimbun. Saya tinggal menebas dengan golok akar pohon itu, maka akan segera meneteskan air sejuk. Rasanya manis dan memberi energi baru. 

Ada segerombolan kera dan lutung (kera hitam) yang biasanya dapat saya lihat dari kejauhan. Lutung tidak seperti kera. Lutung biasanya berada di pepohonan besar dan tinggi. Hanya sesekali mereka berayun. Ada seekor lutung yang akan memperdengarkan suaranya untuk memberi tahu sesamanya, jika ada mahluk lain memasuki wilayahnya. Kera biasanya hidup bergerombol. Kadang-kadang mereka seperti ingin mengusir kami dengan teriakan-teriakan keras yang menakutkan. Matanya  dibesar-besarkan, lalu mendekat untuk mengusir saya dari wilayahnya. Saya sudah siap dengan ranting-ranting pohon yang bila digoyangkan menimbulkan suara. Mereka langsung menjauh.

Di antara pepohonan yang tinggi dan kokoh, banyak sekali pohon jambu monyet atau jambu mente. Sepanjang tahun jambu itu berbuah lebat dan terhampar begitu saja. Biji-bijinya yang sudah mengering sering terinjak-injak. Kalau dilihat sepintas baik rupa dan warnanya mengundang selera. Ada yang kuning, kemerah-merahan dan harum. Rasanya agak masam, kesat (sepet) meskipun ada juga manisnya.

Buah-buahan lain di sana yang dapat dan enak dimakan banyak sekali. Ada sawo kecik, samolo, mangga udang dan lain lain. Mmang pohonnya tinggi-tinggi. Bagi saya dan teman yang kadang  menemani saya menjelajah hutan, untuk memanjat pohon-pohon itu tidak masalah. Kami terlatih dan belajar dari  kera-kera di hutan yang mencari makanan untuk hidup.

Dari sekian banyak buah-buahan sepertinya buah samolo yang tidak pernah saya temukan lagi di mana-mana. Pohonnya tinggi, buahnya juga banyak. Yang besar hampir menyamai besarnya jeruk bali. Kulit buahnya terbungkus seperti beledu warna coklat. Jika sudah tua dan siap dipetik ada warna kemerahan pada permukaan buah. Jika sudah masak harumnya tercium dari jarak agak jauh. Setelah dikupas isinya terlihat kekuning-kuningan. Biji-bijinya kecil. Rasanya tidak kalah dengan apel Cina. Keahlian saya panjat-memanjat, di kemudian hari dapat menjadi andalan untuk menolong orang.

Pada saat saya melepaskan lelah dan duduk di bawah pohon besar, saya dapat merasakan, Tuhan mengelilingi saya seperti cahaya dan udara, seperti air dan ikan. Tuhan, terasa begitu dekat, walaupun waktu itu saya belum mengenalnya. Dia sudah mengenal saya sedari saya ada dalam kandungan ibu.

Selain sungai, sawah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan kami, lautan, pantai dan pesisirnya,  juga merupakan sumber yang sangat besar potensinya.  Tuhan memberikan kepada penduduk di sana yang hanya mengambil secukupnya dan memelihara kelestariannya. Ada perahu mayang (dayung dan layar) dengan jaring yang sederhana. Ada juga perahu dayung yang lebih kecil. 

Perahu ini khusus untuk memancing ikan-ikan besar. Selain kedua perahu untuk menangkap ikan, ada juga alat pancingan yang dibuat dari bambu yang berukuran panjang empat sampai lima meter, dengan memakai tali dari kawat, dan umpannya ikan mas segar. Ada juga yang menggunakan tali rami yang panjangnya sampai duapuluh meter, ini dinamakan “ngabalang” memancing dari bibir pantai diputar-putar, dilempar dengan pemberat batu dan umpannya sama ikan mas segar.

Cara dan waktu penangkapan ikan berbeda-beda. Perahu mayang biasa melaut dari pantai di antara pukul tiga pagi, dan kembali siang hari. Kadang kedatangan mereka hampir bersamaan, beriringan.

Kami yang menunggu di pantai sangat terpesona. Perahu-perahu itu  memang dibuat sedemikian rupa, gagah, indah, dan mempesona. Ukiran pada bagian hulu perahu yang menjorok ke depan dilengkapi umbul-umbul yang terpancang dan pernak-perniknya, bernilai seni sangat tinggi. Umbul-umbul yang dibuat sangat indah. Warnanya mencolok. Inilah yang membedakan satu perahu dengan perahu lainnya.  Serasi dengan bendera-bendera yang terbentang antara tiang layar sampai keburitan, pengemudi memegangi, menentukan arah. 

Kemudinya  seperti dayung yang cukup besar bisa diputar ke segala arah, untuk memperlambat dan memberhentikan perahu pada titik yang diperlukan. Pada bagian kiri kanan perahu terpasang kayu yang  dibentuk sedemikian rupa menyerupai sepotong jemparing panah yang sangat simitris. Untuk menjaga  keseimbangan perahu menghadapi ombak dengan lengkungan yang indah di sana menempel bambu gombong besar yang sudah  diawetkan.

Ketika perahu itu memecah ombak seakan berdiri. Kemudian melaju menurun dengan derasnya mengikuti ombak dengan kilatan air yang berwarna biru dengan buih-buih putih berhamburan seakan bunga perak yang terurai. Awak perahu berdiri di hulu dengan wajah-wajah gembira, seolah-olah  para pahlawan yang pulang dari medan perang dengan kemenangan besar. Sungguh besar Tuhan dengan segala kedahsyatan segala ciptaan-Nya! 

Saking terkagum-kagumnya, guru kesenian saya, Pak Madturo membuat sebuah lagu yang menjadi favorit saya yaitu  “Umbul-umbulna melengkung” dengan pupuh Kinanti.

Umbul-umbulna melengkung,

ngelebet katebak angin.

Ngerab-ngerab banderana,

ngaguruh tambur jeung beri.

Tabuh ninggang wirahmana,

sengak tarompet jeung suling.

Terjemahannya.

Mahkotanya  menjulang ke udara,

dengan bendera-bendera yang berkibar tertiup angin.

Suara lautan bagaikan tabuhan yang bergemuruh,

mengiringi saat tiba waktu,

kita menyambutnya sang pahlawan

dengan bunyi-bunyian terompet dan suling.                                                                                                                                                                                                                                      

Perahu, untuk mancing sangat berbeda. Perahunya lebih kecil dan tidak dibuat dengan pernak-pernik. Segalanya mirip, seperti layar, penyeimbang dan tiang layar. Warnanya di seragamkan yaitu, hitam. Mereka melaut biasanya setelah sholat maghrib dan pulang dini hari. Jadi saya tidak pernah melihat mereka merapat ke pantai.  Hasilnya sampai siang hari pun masih terlihat yaitu ikan besar, seperti ikan hiu dan lainnya yang sudah dipotong-potong.

Memancing di pantai, waktunya hampir bersamaan dengan menangkap ikan besar. Sesekali saya bisa melihat mereka memancing dengan bambu atau galah jauh ke tengah laut. Yang terlihat hanya kepala dan tiang galah, timbul tenggelam mengikuti ombak. Saya membayangkan bagaimana jika umpannya disambar ikan besar lalu mengangkatnya ke daratan. Jika tidak dengan kearifan mengenal dan bersahabat dengan laut tentu akan ada kesulitan besar. Bukan tidak mungkin, yang memancing dapat terbawa arus laut yang cukup deras.

Yang terakhir namanya “ngabalang”. Ngabalang sepertinya ada waktu-waktu tertentu. Tanda-tanda ada kumpulan ikan  biasanya terlihat dengan jelas warna laut. Di tempat-tempat tertentu air laut berwana lebih biru dalam jarak tidak terlalu jauh dari pantai. Saya pernah mencoba ngabalang beberapa kali, tetapi tidak pernah mendapatkan ikan seekor pun. Karena lemparan saya jauh di bawah sasaran. Keunggulan ngabalang ini terjadi pada bulan-bulan tertentu, yaitu musim “impun”. Impun adalah sejenis ikan teri yang entah dari mana datangnya. Mereka terhampar pada bibir muara kali Cisolok satu kilometer ke kiri dan satu kilometer ke kanan di pinggiran laut.

Masyarakat di sana sudah tahu, dan tiap keluarga punya semacam lambit, yaitujaring halus berukuran satu seperemat meter persegi. Pada musim impun ini ikan-ikan besar di antaranya kakap merah, kerapu, terkadang juga ada ikan hiu pergi ke pinggiran pantai untuk menyantap impun. Nah pada kesempatan ini, yang memancing dengan cara ngabalang ini biasanya akan mendapat hasil yang baik. Kaum ibu yang menangkap impun pun kebagian rejeki yang tidak sedikit. Ada yang mencapai tiga kilo dan tidak jarang ada yang mendapatkan ikan kakap merah yang cukup besar. Impun biasanya dipepes atau dikeringkan dengan dijemur hingga bertahan beberapa hari untuk diolah kembali.

Saya paling suka impun yang dipepes. Rasanya gurih dan empuk. Sayang, musim impun ini hanya terjadi satu atau dua kali dalam setahun. Itu pun hanya diketahui oleh masyarakat di sana dan waktunya selalu jatuh pada saat bulan purnama. Sore hari antara pkl. 5 sore, ibu-ibu sudah mempersiapkan lambit dan  tolok,tempat ikan dari anyaman bambu, 20 Cm x 40 Cm, bundar/lonjong di ujungnya ada anyaman tali untuk diselendangkan. Tolok juga ada yang ukuran kecil untuk anak-anak. Saya juga memilikinya 1 buah. Keanehan alam juga terjadi di sini. Keesokan hari impun-impun di pantai menghilang dengan sendirinya sampai pada musimnya datang kembali.

Saya harus banyak bertanya apa saja yang boleh dan dilarang dilakukan di pesisir, karang, lautan, dan ombak. Pada umumnya penduduk di sana sangat menghargai pada kita yang mau bertanya. Mereka akan menjawabnya dengan sungguh-sungguh dan teliti mengenai apa saja yang harus kita ketahui demi keselamatan kita. Memang ada yang bersifat magis, tapi juga ada yang bersifat teknis. 

Tidak ada salahnya bila kita mengindahkan larangan-larangan, dan melakukan sesuai dengan yang disarankan dengan penuh hormat dan berterima kasih. Membuang pipis, melempar sesuatu, tidak boleh dilakukan di sembarang tempat.  Melewati tempat-tempat tertentu, memasuki guha (gua), berjalan di Karang Hawu,  perlu kita lakuka sesuai nasihat para sesepuh penduduk desa. Berkata-kata kotor, sebaiknya kita hindari.

Semua yang kita lakukan, tidak boleh sembarangan, harus minta izin supaya tidak mengganggu penghuni goib (gaib) yang menjaga di sana yang tidak kita lihat dengan mata, katanya. Dengan melakukan hal-hal ini sepertinya saya tidak merasa percaya pada tahayul atau terbawa dalam aliran tertentu. Saya menganggapnya sebagai rasa hormat pada alam yang menopang kehidupan, yang jutaan tahun telah  berada di sana sebelum kehadiran saya.

Secara teknis, antara lain saya belajar tentang air laut dan kekuatannya. Jika kita menyongsong ombak, itu sesuatu yang tidak mungkin. Ada dua pilihan: pertama,  mengalah, dengan merundukan kepala dan badan ketika ombak akan menghempas melewati kita dan muncul kembali ketika ombak telah lewat. Kedua,  ketika ombak datang, saya harus bersiap menjejakan kaki ke pasir bersamaan dengan gelombang yang datang, begitu gelombang menghempas, saya akan terapung di atas gelombang dan turun bersamaan dengan lewatnya gelombang. 

Yang perlu diketahui, jangan kaget saat air/gelombang menarik kita dari daratan dan membuat gelombang baru. Kalau kita terseret oleh arus yang sangat kuat, sedangkan pasir yang dipijak ikut menarik kita ke tengah lautan, yang terbaik adalah tidak menahan kaki, tapi melepaskan dengan siap-siap terlempar ke daratan dengan dorongan ke atas ombak dengan ringan. Tentu saja yang pertama-tama sekali harus belajar berenang, baik di sungai maupun di sancang-sancang, yaitu kubangan air di antara karang-karang. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun