Surga yang hilang (2)
Dengan berjalannya waktu saya mampu menyeberangi sungai yang sedang banjir. Saya belajar dari kearifan penduduk sederhana. Jika saya mau menyeberangi sungai yang sedang banjir, saya harus berjalan ke arah utara sungai sekitar 10 meter. Saya mengikuti derasnya arus, seperti perahu mengikuti arus. Sesekali saya menekankan kaki pada saat berada di atas batu yang sudah saya hafal letaknya. Kecepatan arus juga sudah saya perhitungkan, sehingga pada saat melangkah dari batu ke batu lain, saya dapat melakukannya dengan baik, sampai akhirnya tiba di seberang. Jika menyeberangi sungai pada saat banjir, sebaiknya tidak membawa beban.
Pada musim penghujan banyak hal yang harus saya pelajari dan saya ingat dengan baik. Tanpa pengetahuan yang cukup kita akan mendapatkan kesulitan. Melintas di pematang sawah yang kecil dan licin, perjalanan harus lebih cepat dari yang biasa karena air hujan dan rasa dingin bisa menembus sampai ke tulang-tulang. Bagi kami tidak ada masalah, karena kami biasa tidak pernah menggunakan sandal atau sepatu. Kami berjalan tanpa alas kaki ke mana pun kami pergi.
Alam mengajarkan kepada kami untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dengan cara-cara alamiah. Untuk melintas di pematang sawah yang kecil dan licin, kami cukup melatih jempol kaki ditekuk sekian derajat ke bawah hingga dapat mencengkeram tanah yang lembek. Dengan demikian kami bisa berlari kecil dan cepat sampai. Nah, dalam hal ini kolam-kolam di depan rumah masing-masing berguna untuk membersihkan lumpur yang nempel di kaki dan celana agar tidak terbawa ke dalam rumah. Inilah yang sekarang mungkin telah dilupakan. Air yang demikian sangat berharga tidak terbuang dengan percuma karena ada penampungan yang dapat digunakan lagi.
Di desa kami hampir tidak mengenal payung atau jas hujan. Jika hari hujan, pergi atau pulang sekolah biasanya kami menggunakan daun pisang atau daun talas yang lebar. Itu sudah cukup. Kalau hujannya disertai dengan angin yang cukup kencang pada saat bersamaan juga musim buah, maka buah-buah mangga terutama yang terdapat pada hampir tiap halaman rumah atau belokan jalan akan berserakan begitu saja. Siapa pun boleh mengambilnya dengan memilih mana yang dia suka. Kami semua di sana tidak pernah memiliki rasa serakah untuk disimpan atau dijual.
Cukup untuk dimakan seperlunya, tidak pernah ada yang sampai terbuang. Demikian juga jika ada orang yang memanen ikan di sawah. Kami turut membantu membuat parit-parit, dengan mengangkat jerami bekas padi yang sudah busuk, ke samping kiri-kanan, sehingga air terarah pada satu tempat yang sudah dilebarkan. Dengan mudahnya menggiring ikan-ikan besar untuk dipanen. Ikan-ikan kecil dan yang tidak ditanam, seperti ikan mujair dan boboso (gabus) setelah dipisahkan dari ikan mas yang ditanam, pemilik akan mempersilahkan kepada yang membantunya untuk mengambil semaunya.
Seringkali saya ditinggal sendiri di rumah karena semua pergi ke Sukabumi. Saya dititipkan kepada ibu sepuh di rumah sebelah. Ibu tetangga itu sangat sayang pada saya. Apa lagi beliau hanya mempunyai dua anak perempuan dan dua orang cucu dari puterinya yang pertama. Di kemudian hari anaknya yang kedua ini menikah dengan kondektur bis THE & SONEN yang kebetulan bibirnya sumbing. Yang tidak dapat saya lupakan sampai sekarang yaitu, ketika ibu ini menggendong cucunya di sore hari sering menyanyikan sebuah, lagu keagamaan: “Allah huma soli, Alaihim wa salam..”
Walaupun saya sering ditinggal sendiri, buat saya tidak ada masalah, karena saya sudah terbiasa menyendiri. Karena itulah saya dapat menjelajahi hutan lebat yang mengelilingi teluk Cisolok, sampai ke hulu sungai. Di sana terdapat air panas yang keluar dari sebuah kawah yang lebarnya sekitar enam meter. Ada gelembung-gelembung yang menyebarkan bau belerang, dan airnya sangat panas. Jika kita menaruh telur di sana dalam hitungan menit, telur sudah siap disantap. Memang di sekitar kawah ini terlihat agak tandus, tapi beberapa puluh meter ke Selatan airnya menjadi hangat dan selanjutnya menjadi dingin.
Dari atas kawah ini saya dapat melihat suatu keajaiban alam yang menakjubkan. Air mengalir yang tadinya tidak terlalu besar, semakin ke Selatan semakin besar dan menjadi sungai yang begitu besar. Sungai itu berkelok-kelok. Di sekitar daerah aliran sungai itu terdapat kesuburan yang benar-benar menakjubkan.
Ada dua jalan yang dapat dilalui menuju ke puncak kawah ini. Pertama, dari sebelah Barat, melalui lapangan tempat perhentian bis, kemudian melaui pesawahan dan hutan tidak terlalu lebat. Yang lain dari arah sebelah Timur melewati sekolah. Menjelajahi hutan inilah yang menjadi kesenangan saya berpetualang. Hutan ini dihuni oleh berbagai satwa liar, tapi juga menyediakan buah-buahan yang nampaknya tak akan ada habisnya. Air minum juga melimpah, karena berasal dari akar pohon yang banyak ditemui bergelantungan dari pohon-pohon besar yang sangat rimbun. Saya tinggal menebas dengan golok akar pohon itu, maka akan segera meneteskan air sejuk. Rasanya manis dan memberi energi baru.
Ada segerombolan kera dan lutung (kera hitam) yang biasanya dapat saya lihat dari kejauhan. Lutung tidak seperti kera. Lutung biasanya berada di pepohonan besar dan tinggi. Hanya sesekali mereka berayun. Ada seekor lutung yang akan memperdengarkan suaranya untuk memberi tahu sesamanya, jika ada mahluk lain memasuki wilayahnya. Kera biasanya hidup bergerombol. Kadang-kadang mereka seperti ingin mengusir kami dengan teriakan-teriakan keras yang menakutkan. Matanya dibesar-besarkan, lalu mendekat untuk mengusir saya dari wilayahnya. Saya sudah siap dengan ranting-ranting pohon yang bila digoyangkan menimbulkan suara. Mereka langsung menjauh.