Sukabumi 1947.
Ingatan saya melayang ke tahun itu, ketika saya berumur kurang dari 7 tahun. Saya tinggal dengan seorang nenek yang penuh dengan luka-luka batin. Hal ini tampak dari kerut-kerut wajah dan sinar matanya yang penuh dengan kepahitan hidup. Namun ketegaran, kesabaran dan cinta membuat nenek menjadi begitu kuat dan perkasa menanggung semua beban maha berat yang menghimpitnya.
Awalnya, ia ditinggalkan suami pertama untuk selamanya, dengan dua anak laki-laki yang masih memerlukan bimbingan seorang bapak. Memang, nenek mendapat warisan sebuah rumah besar di Jalan Benteng dengan kekayaan yang cukup. Tidak sulit bagi nenek untuk mendapatkan suami baru yang masih bujangan. Dialah kakek saya. Dalam perjalanan hidup selanjutnya, ternyata tidak seperti yang nenek harapkan.
Dari kakek saya, nenek dikarunia tiga orang puteri yang diberi nama: Reigen [hujan] Morgen [pagi], dan Nonie [puteri kecil]. Mereka tumbuh dalam keceriaan. Morgen adalah ibu saya. Dalam kebahagiaan yang belum banyak dinikmati oleh nenek bersama dua anak dari suami terdahulu, tiba-tiba rumah tangga nenek dihantam prahara dahsyat. Segalanya porak- poranda. Kakek saya dinikahkan lagi oleh ibunya dengan seorang gadis dari Jakarta. Selanjutnya nenek ditinggal begitu saja dengan ketiga puterinya di Sukabumi.
Kakek menetap di Jakarta. Dia tidak dikaruniai seorang anak pun dari pernikahan kedua. Penyebab perceraian itu terjadi, karena uyut saya, yaitu ibu kakek menginginkan anaknya menikah dengan seorang gadis, bukan janda, apa lagi sudah beranak dua. Ambruknya mental nenek mengakibatkan kehancuran parah dalam rumah tangga nenek. Lima nyawa anak-anak menjadi korban broken home. Anak nenek yang pertama tidak menikah. Anak kedua tumbuh menjadi anak yang keras hampir tidak memiliki perasaan. Reigen, tumbuh menjadi gadis glamour menikah dengan pengusaha bioskop di Cianjur. Morgen, yaitu ibu saya, menikah dengan seorang penjudi yang tidak bertanggung jawab selama hidupnpya. Nonie menikah dengan seorang keturunan Padang, karyawan bioskop, kemudian menjadi karyawan perkebunan di Cianjur. Setelah dikaruniai banyak anak, suaminya menikah lagi dan keluarga Noni berantakan.
Belum cukup dengan semua penderitaan itu, nenek dibebani untuk mengurus enam orang cucu dari seorang anak lelaki dan dua orang puterinya. Dd, cucu dari anak lelaki nenek yang bekerja di perkebunan. Nn, Jhy, Cc dan Ind, cucu-cucu dari Reigen, kakak ibu saya. Lalu, saya sendiri, anak dari Morgen. Reigen pergi entah ke mana setelah suaminya bunuh diri. Ibu dan bapak saya bekerja di Cisolok Pelabuan Ratu, Banten. Bapak bekerja sebagai kepala pengawas karcis/tiket Perusahaan Bis THE & SONEN. Ibu dan bapak membawa kakak dan adik perempuan saya. Saya ditinggalkan di rumah nenek. Nenek tinggal di sebuah rumah yang cukup besar. Ia menghidupi dirinya sendiri bersama kami berenam, cucu-cucunya.
Nenek berjualan kueh basah yang dijajakan oleh tiga orang pedagang keliling yang setiap pagi mengambil kue dari rumah nenek. Sore harinya mereka menyetor hasil jualannya. Nenek juga menjadi agen cuka lahang (aren) yang dijejer-jejerkan di samping rumah dengan guci-guci yang besar. Secara rutin, cuka lahang itu ada yang membeli. Lahang itu dikirim oleh bapak-bapak dari kampung nan jauh. Lahang itu rasanya manis sekali.
Kami berenam tumbuh menjadi sebuah “geng” anak-anak nakal, suka menggangu tetangga, kadang juga merusak tanaman, melempari rumah tetangga dengan bermacam benda-benda kotor. Geng ini dipimpin oleh Nn, yang di kemudian hari menjadi isteri kedua dari suami baru kakak ibu saya.
Di antara cucu-cucu nenek, sepertinya sayalah yang masih mempunyai perasaan. Saya suka membantu nenek dalam berbagai pekerjaannya. Karena hal itulah saya sering dikerjainoleh “geng” ini, yang membuat saya sering menangis. Kalau di rumah ada nenek, saya merasa beruntung, meskipun mereka meninggalkan saya. Tetapi kalau kami sedang bermain di luar rumah, saya sering ditinggal begitu saja. Saya pun lari pulang ke pangkuan nenek. Nenek mendekap saya dengan penuh kasih sayang. Sore hari saya dan “geng” selalu mendapatkan jatah kue-kue sisa dagangan yang tidak terjual.
Saya biasa membantu nenek mengambil beberapa ember air dari sumur yang tidak jauh dari rumah. Airnya jernih, hanya sumur itu agak dalam. Kami tidak mempunyai saluran air dari PAM. Untuk mencuci perabotan bekas, biasanya dilakukan di kolam kecil belakang rumah. Kami mempunyai dua buah kolam. Di samping kolam kecil di belakng rumah, ada juga kolam besar yang dikelilingi oleh pohon-pohon pandan dan pohon suji. Setiap hari daun-daunnya saya petik untuk pewangi kueh.
Bila malam tiba, ketika semua cucu sudah masuk ke kamar masing-masing, kami berdua masih bergelut di dapur untuk mencetak kue putu mayang. Setelah adonan dimasukkan ke dalam cetakan, giliran saya menaiki alu yang cukup besar duduk di atasnya. Dengan komando dari nenek, “Tekan, dan lepas!” Setelah selesai tugas itu saya disuruhnya tidur dan nenek meneruskan pekerjaannya.