Idiom “musang” dipakai untuk membandingkan perilaku para “pemimpin” di negeri ini yang tidak lagi dapat membedakan mana halal mana haram. Semua dihantam kromo saja. Pada siang hari musang suka tidur di lubang-lubang kayu, dan pada malam hari sang musang seolah berpikir, ayam siapa lagi yang akan menjadi kurban berikutnya. Para “pemimpin” di negeri ini sukanya di tempat remang-remang, bahkan gelap, tidak siang tidak malam... sambil terus berupaya mencari kurban-kurban berikutnya demi kepentingan dan keuntungan pribadi, keluarga dan kroninya...
“... tidurku di siang hari membungkus diri dengan dedaunan kuning, hijau bahkan kemerah-merahan”. Idiom itu menyeret asosiasi kita pada warna-warna atau simbol-simbol partai yang saat itu berkuasa.
Begitulah, puisi sederhana ini telah berusaha memberikan nuansa yang tak terlalu rumit tentang kondisi suatu zaman yang mungkin juga pada saat kini, para “musang” itu masih berkeliaran di mana-mana dengan bangganya, karena seringkali orang terkecoh untuk mengalungkan bunga, sebelum pada akhirnya dicokok oleh petugas antirasuah.... Semoga!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI