Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Musang Berkalung Bunga

30 April 2016   12:21 Diperbarui: 30 April 2016   22:10 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

tidurku di siang hari membungkus diri dengan

dedaunan kuning, hijau bahkan kemerah-merahan.

Tiga puluh dua tahun yang lalu aku musang

bagiku tidak ada kata halal dan haram

apa yang bisa aku makan, asal perut kenyang.

Tiga puluh dua tahun yang lalu aku musang.

Aku ada di mana-mana!

Alue Bilie, Ragan Raya Aceh 1994

Khairuddin – Aceh.

Sekali-sekali ia membaca apa yang ditulisnya, lalu menulis lagi, membaca lagi sambil memarafrasekannya. Kami bertiga menjadi pendengar setia. Setelah selasai membaca dan menuliskannya, beliau berkomentar, “Bagaimana? Bagus kan?” Saya hanya manggut-manggut sambil berucap, “Bagus! Bagus! Luar biasa!” Beliau nampak puas dengan komentar saya...

Tidak terlalu sulit mencerna puisi Khairuddin ini. Idiom-idiom yang digunakan saat menuliskan maupun membacakan puisinya, menyeret ingatkan kita kepada kondisi zaman “orde baru”.  Diksi “tiga puluh dua tahun”, mengasosiasikan kita pada penguasa yang selama 32 tahun bertengger di negeri ini. Kata “musang”, mengingatkan kita pada salah satu jenis mamalia liar  yang kerap dijumpai di sekitar pemukiman dan bahkan perkotaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun