tidurku di siang hari membungkus diri dengan
dedaunan kuning, hijau bahkan kemerah-merahan.
Tiga puluh dua tahun yang lalu aku musang
bagiku tidak ada kata halal dan haram
apa yang bisa aku makan, asal perut kenyang.
Tiga puluh dua tahun yang lalu aku musang.
Aku ada di mana-mana!
Alue Bilie, Ragan Raya Aceh 1994
Khairuddin – Aceh.
Sekali-sekali ia membaca apa yang ditulisnya, lalu menulis lagi, membaca lagi sambil memarafrasekannya. Kami bertiga menjadi pendengar setia. Setelah selasai membaca dan menuliskannya, beliau berkomentar, “Bagaimana? Bagus kan?” Saya hanya manggut-manggut sambil berucap, “Bagus! Bagus! Luar biasa!” Beliau nampak puas dengan komentar saya...
Tidak terlalu sulit mencerna puisi Khairuddin ini. Idiom-idiom yang digunakan saat menuliskan maupun membacakan puisinya, menyeret ingatkan kita kepada kondisi zaman “orde baru”. Diksi “tiga puluh dua tahun”, mengasosiasikan kita pada penguasa yang selama 32 tahun bertengger di negeri ini. Kata “musang”, mengingatkan kita pada salah satu jenis mamalia liar yang kerap dijumpai di sekitar pemukiman dan bahkan perkotaan.