[caption caption="sumber: www.shutterstock.com"][/caption]“Berapa lama Anda sudah bekerja di perusahaan ini?” tanya saya kepada seorang rekan yang selalu merengek-rengek minta tolong untuk disampaikan kepada Manajer HRD tentang permohonannya pensiun dini.
“Delapan belas tahun”, jawabnya dengan wajah kesal. “Saya sudah bosan. Saya sudah jenuh. Saya pengin tinggal di rumah saja, menikmati hidup dengan penghasilan suami. Lagian rumah saya jauh dari kantor. Mana anak-anak membutuhkan saya..”
“Nanti kalau lama-lama di rumah, Anda ribut lagi minta dicarikan pekerjaan. Begitu?” ledek saya.
“Ya enggaklah...” katanya sambil menyungging senyum.
Pada kesempatan berbeda, saya menjumpai seorang teman lain yang sudah 11 tahun bekerja di tempat yang sama, dengan jenis pekerjaan yang sama, namun ia tidak pernah menampakkan rasa jenuh.
“Apa sih rahasianya?” tanya saya.
“Cinta!” jawabnya telak sambil menggelegarkan tawanya hwa hwa hwa...
Ya, memang. Pada umumnya, pikiran dan ucapan bosan dan jenuh pernah melintas atau bahkan terucap dari orang yang dalam waktu relatif lama melakukan pekerjaan dan rutinitas yang tunggal nada.
“Bosan”, padanan kata lainnya adalah “jenuh”, artinya sudah tidak suka lagi karena sudah terlalu sering. Ada kata lain yang juga menggambarkan kondisi semacam itu, yaitu stagnan, artinya menggenang, mandek, membosankan. Jadi, setiap pekerjaan yang secara rutin dilakukan dalam waktu lama, mempunyai resiko membosankan. Efek dari rasa jenuh dan bosan itu ternyata tidak sepele. Ada yang berakibat penurunan kinerja, ada juga yang berakibat peningkatan kinerja.
Ada apa di balik rasa jenuh tersebut? Orang yang menghadapi rasa jenuh dalam pekerjaan, sebenarnya sedang menghadapi konflik approach-avoidance. Artinya, di satu sisi pekerjaan itu bagi dia sangat menjemukan (avoidance), di sisi lain dia merasa membutuhkannya (approach), karena selain memberikan jaminan finansial, juga memberikan jaminan rasa aman. Dilihat dari berbagai tarikan serta tolakan yang dialami, rasa-rasanya akan dibutuhkan energi yang luar biasa bagi siapa pun untuk terlepas dari kondisi kerja yang menjemukan.
Adakalanya orang merasa judek, mentok, stagnan, macet, mandek dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana bersikap apabila rasa jenuh itu terus-menerus membayangi pikiran, sekalipun terus diatasi? Ada banyak hal yang dapat dimanfaatkan untuk menangani kejenuhan dan kebosanan itu. Dalam sejarah dunia kerja, ada tiga alternatif terhormat yang dapat dimanfaatkan untuk menyiasati rasa jenuh dan bosan itu.
Pertama, tetap bertahan pada pekerjaan sekarang. Selanjutnya lakukan tugas dan tanggung jawab sebaik-baiknya. Ini pilihan yang paling mudah. Ada seorang sahabat yang menggunakan istilah “berdamai dengan situasi yang tidak memberikan kedamaian”. Ada juga yang menggunakan istilah “terimalah ini apa adanya” (TNI AD). Bahkan ada yang mengatakan dengan istilah “bakat ku butuh” (berbakat karena kebutuhan). Jalani saja dengan sabar dan tabah!
Kedua, tetap bertahan pada pekerjaan sekarang tetapi berusaha mendapatkan perluasan tugas (job enlargement), atau pengayaan tugas (job enrichment). Berdiskusi dengan atasan langsung yang memiliki otoritas, soal keinginan untuk membantu memajukan perusahaan, merupakan langkah yang baik. Katakan terus terang bahwa Anda menginginkan tantangan baru. Selanjutnya serahkan pada keputusan manajemen. Sebaiknya tidak bersikap mengancam atau sejenis itu, sebab tindakan itu membuat Anda menghukum diri sendiri.
Kalau dua alternatif itu dianggap baik dan dapat mengatasi rasa jenuh atau bosan boleh juga dimanfaatkan. Namun jika kadar kejenuhan dan kebosanan itu sudah melampaui ambang batas, barangkali perlu dipikirkan alternatif ketiga, yaitu menghadap baik-baik pada atasan dan menyampaikan keinginan untuk berkarir di tempat lain.
Sesungguhnya masih ada alternatif lain yang dapat mengatasi rasa bosan dan jenuh dalam rutinitas pekerjaan. Di samping melakukan refreshing atau penyegaran secara berkala, menyiasati kebosanan dapat dilakukan dengan membahagiakan pekerjaan. Membahagiakan pekerjaan artinya mencintai pekerjaan. Seringkali kita mendengar ucapan, “Bagaimana saya bisa mencintai pekerjaan saya yang menjemukan itu?”
Ada satu konsep yang dikemukakan oleh KPPSM (Kursus Pelatihan Pengembangan Sikap Mental) F.X. Oerip S. Poerwopuspito dan T.A Tatag Utomo, yang membuat kita dapat mencintai pekerjaan yaitu, dengan menyadari bahwa bekerja adalah belajar, bermain, melakukan hobi, menabung, investasi dan proses pemuliaan diri yang dibayar. Bukankah jika kita menggunakan pola pikir demikian itu, dapat menyenangkan? Sewaktu kita sekolah formal, kita harus membayar untuk dapat belajar, bermain dan melakukan hobi. Namun dalam bekerja, kita mendapatkan gaji, upah, bayaran.
Bagaimana kita dapat bekerja dengan rasa cinta? “Bagaikan menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu yang akan mengenakannya nanti,” jawab Kahlil Gibran.
Lebih indah lagi nasihat pujangga Lebanon itu selanjutnya, “Ketika bekerja, kalian bagaikan sepucuk seruling yang menjadi jalan bagi bisikan waktu untuk menjelma menjadi lagu. Siapakah mau menjadi ilalang dungu yang bisu, ketika semesta raya melagukan gita bersama?” Dan yang lebih dahsyat lagi, “... ketika bekerja kalian sedang memenuhi puncak tertinggi cita-cita dunia, yang akan dianugerahkan kepada kalian sendiri ketika cita-cita itu terjelma. Dengan selalu menyibukkan diri dalam kerja, berarti kalian sedang mencintai kehidupan. Mencintai kehidupan dengan bekerja, adalah menyelami rahasia hidup yang paling dalam”.
Mari kita melambungkan keikhlasan syukur dengan merajut kehidupan ini lewat pekerjaan kita sehari-hari yang kita lakukan dengan tulus dan bertanggung jawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H