Beberapa bulan telah lewat, Beban duka derita ini harus kutanggung sendiri. Tak seorang pun yang mengetahuinya. Bahkan moeder di biara pun tak kukabari. Satu-satunya orang yang kupercaya untuk mengetahui rahasia ini adalah Rama Sepuh, pembimbing rohaniku. Dengan bijak dan kata-kata sejuknya, ia senantiasa dapat meredam kegalauan pikiran dan keremukan hati ini. Dari Rama Sepuh, aku mendapatkan kekuatan dan ketabahan. Kadang dengan kasihnya yang tak terhingga, ia mengelus punggungku. Kadang dengan senyum kebapakannya, ia menatapku. Seolah dari pandang matanya yang bening itu dialirkannya kekuatan dan berkah melimpah, sehingga aku mampu menghadapi kepahitan hidup yang sering mngantarkan aku ke perasaan tak berarti dan sia-sia.
“Buluh yang layu tak akan dipatahkannya. Lampu yang berkedip-kedip tak akan dipadamkannya. Tuhan lebih besar dari masalahmu!” Demikian yang sering dikatakan Rama Sepuh yang menguatkan imanku. Dia jugalah yang mambuat iman ini tak goyang, meski hidup ini telah hancur, toh Tuhan masih memakaiku sebagai pewarta kebajikan. Guru-guru dan anak-anak di sekolah masih menantikan uluran tangan pengabdianku. Para orangtua murid masih banyak yang percaya kepadaku. Berkat kepemimpinanku, sekolah menjadi maju dan berprestasi. Inilah yang memberikan hiburan bagiku. Meski masih sering merasa bahwa hidup ini tak berarti, tapi kenyataannya Tuhan masih mempercayaiku untuk meneruskan karya-Nya, membuat segala sesuatu baik dan indah adanya. Dimuliakanlah Tuhan!
Bandung, akhir Desember 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H