sumber ilustrasi: sesawi.net
“Sungguh, Suster, Tuhan sudah melupakannya! Pengampunan itu seperti sebuah kepulan asap, nampak sebentar lalu menghilang ditelan angin. Segalanya sudah tak berbekas di mata Tuhan. Itu sebabnya, bangkitlah kembali! Tak baik bergelimang dalam sesal dan putusa asa!” Demikian kata-kata bijak dari Rama Sepuh yang terasa sejuk di hati, manakala aku ambruk dan mengakukan dosa-dosaku dalam derai air mata.
Bagaimana tidak hancur berkeping-keping hati ini, kalau hidup yang telah kuserahkan kepada Tuhan, lewat pengabdian dan kesetiaan dalam lembaga hidup bakti, tiba-tiba diterkam dan dirobek-robek oleh nafsu iblis keparat! Mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa! Dan iblis itu bersarang dalam hati seorang yang pantas kusebut Om! Ya, dialah yang melemparkan aku ke dalam jurang penyesalan yang tak kunjung akhir. Mencoreng kemurnian jiwa dan batin yang kupasrahkan hanya kepada-Nya!
Bencana itu terjadi di kota S. Ketika itu aku menjadi kepala sekolah di sebuah SD di kota M. Seperti biasa setiap bulan aku harus menyerahkan laporan bulanan kepada yayasan penyelenggara sekolah sambil mengambil gaji untuk guru-guru. Waktu itu gaji guru-guru masih dibayarkan secara manual, dimasukkan amplop masing-masing dengan diberi nama dan bulan gajian.
“Ada pesan dari Bapak! Suster diminta datang di hotel G. Bapak nggak enak badan. Saya diminta menjemput Suster!” kata Pak Suja, supir pribadi yang biasa mengantarkannya.
Tanpa menaruh curiga sedikit pun, aku lalu bergegas mengikutinya, karena urusanku dengan yayasan sudah beres. Di depan lobby hotel, Pak Suja memintaku turun, lalu menunjukkan nomor kamarnya. Ia sendiri kemudian memarkir mobil dan menunggu di luar.
Seperti biasa Om memang sering mengajakku jalan-jalan. Entah ke tempat wisata, supermarket, atau sekadar makan minum di restoran. Tentu saja sebelumnya dia pasti mengontakku dulu, sehingga aku tidak mengenakan jubah biarawati. Dengan adanya Konsili Vatikan kedua, para biarawati dalam kondisi tertentu diijinkan untuk tidak mengenakan jubah. Namun hari ini... dalam jubah putih yang masih bersih, tanpa kontak sebelumnya, aku harus menengoknya ke hotel. Mengapa harus di hotel? Ada keraguan di relung hati, tapi segera kutepis, karena selama ini Om begitu baik kepadaku. Artinya, dia belum pernah berbuat yang neko-neko. Dia selalu menyayangiku layaknya seorang paman kepada kemenakannya. Dan itu telah kualami bertahun-tahun, bahkan sebelum aku masuk biara. Tapi kini... rasa merinding itu datang... Ah, tidak! Aku harus menemuinya...
Kuketuk pintu kamar yang telah disebutkan Pak Suja. Suara berat dari dalam kamar terdengar. “Masuk saja! Pintu tidak dikunci!” Kubuka pintu perlahan, dan kulihat tubuh Om membujur di kasur berselimut layaknya orang sakit.
“Kunci saja pintunya, Suster!” katanya tanpa nada memerintah. Tak sadar, aku pun patuh menurutinya. Segera aku dekati dia, untuk memastikan apakah dia benar-benar sakit dan memerlukan pertolongan. Mengetahui aku mendekat, ia segera berkata, “Ah, hanya nggak enak badan. Capek! Habis dua hari muter-muter ngurusi proyek pembangunan kantor”, katanya sambil tangannya menyilakanku duduk di tempat tidur. Ia memang pemborong. Sering ia harus pergi ke sana kemari untuk melakukan negosiasi pembangunan rumah tinggal atau perkantoran. Biasanya hal itu akan menguras waktu, pikiran dan tenaganya.
“Boleh aku minta tolong, Suster!” katanya dengan lembut. Belum sempat kujawab pertanyaannya, dia telah memiringkan tubuh, lalu merangkulku. Aneh, rangkulannya kali ini tak seperti biasa. Tiba-tiba kulihat dari wajahnya terpancar sorot mata singa kelaparan, dan dengan gerakan segera, sebelum segala sesuatunya kusadari, ia telah mencengkeram tubuhku. Dibantingnya tubuh lelah ini lalu dengan kasar dipretelinya pakaian ini... Dan... bumi pun gonjang-ganjing, ambleg,menimpa tubuh rapuh ini... Tembok kamar yang kaku, lantai berkarpet beludru, serta tempat tidur berseprei putih itu pun seolah ikut menangis bersamaku…
Ketika nafas ini tinggal satu-satu, sehabis prahara dan gelombang dahsyat meluluhlantakkan hidup, dengan sesenggukan sambil memberesi penutup tubuh aku terbata-bata katakan padanya.
“Mengapa Om melakukannya? Tegakah Om menghancurkan masa depanku…., hidupku yang melulu kuabdikan pada Tuhan?” … Air mata ini tak henti-hentinya mengalir deras. Namun dengan nada menyakitkan dia bilang, “Aku ingin membuktikannya...!”
Angin mendesau di luar. Setelah diam beberapa saat, dia berkata lagi, “Telah kusiapkan sebuah rumah untuk kita berdua, Suster! Jika kau tak keberatan, kita akan mengisinya berdua!” Kata-katanya yang tajam dan bernada angkuh itu menusuk ulu hati. Emosi ini segera terbakar!
“Om, tidak ingatkah Om pada tante dan anak-anak? Mana lagi masih ada Mak Tik?” kataku mulai berang.
“Gampang! Mereka toh sudah punya tempat sendiri-sendiri,” jawabnya enteng sepertinya ingin lepas tanggung jawab.
“Tapi, aku tak rela dimadu! Bagaimana nasib mereka nantinya? Apakah aku akan rela mengalami hidup bersama sementara orang lain menderita? Tidak Om ! Tak mau aku menyakiti mereka!”
Kutatap wajahnya dengan berani. Ada rasa muak dalam dada. Ia pun tunduk, mempermainkan ujung mata buayanya. Dalam pikiran yang galau dengan hati yang telah remuk, kutantang dia dengan penuh keberanian. Dalam hati aku membatin, kalau mau hancur ya sudah hancur saja sekalian!
“Baik, kalau memang om menghendaki ku, oke. Lepaskan kedua istri Om! Baru kita hidup bersama. Biar segalanya hancur sekalian…”
Dengan sigra kupunguti barang-barangku, lalu gopoh-gopoh aku menuju pintu. Kubuka, dan kutinggalkan tempat terkutuk itu dengan langkah-langkah gegancangan. Gusti, aku telah ternoda! Telah hancur hidup ini. Telah remuk hati ini! Gusti, nyuwun gunging samodra pangaksama!
Kuhentikan taksi dan kuminta mengantarkanku ke Katedral. Di gereja itu aku bersimpuh ndeprok di depan salib dan patung Bunda Maria. “Tuhan, kepada siapa lagi akau mengadukan hal ini kalau tidak kepada-Mu. Engkau Mahatahu Gusti! Engkau mengetahui segala-galanya sampai sekecil-kecilnya. Tidak ada rahasia yang dapat ditutupi. Di hadapan-Mu segalanya terang benderang. Kepada siapa lagi aku harus membawa beban berat keremukan hati, kehancuran hidup dan kekacauan pikiran ini kalau tidak kepada-Mu? Ampunilah ya Tuhan, dosa-dosaku. Ampunilah kesembronoan dan kecerobohanku. Tuhan dengarkan suara sesakku!”
Hening. Sunyi. Sepi di gereja ini. Siang masih garang. Tak seorang pun ada dalam gereja ini. Oleh karena itulah aku dengan leluasa mengurai air mata…, berwawansabda dengan Yang Maha Pengampun. Di sini kudapatkan kedamaian. Di sini kuterima ketenteraman dan kesejukan. Hati yang letih lesu, jiwa yag lelah, pikiran yang kacau, dada yang sesak, segalanya bermuara pada Hyang Maha Agung. Kuatkanlah aku ya Tuhan, agar aku mampu menghadapi kenyataan kehancuran ini…
Senja telah datang. Ketika kudengar langkah-langkah kaki memasuki gereja, segera kuhapus air mata. Aku bangkit dan dengan langkah-langkah gontai kutinggalkan gereja setelah mengambil air suci dan membuat tanda silang. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Satu yang masih kuingat. Aku harus segera kembali ke biara di kota M. Di sana moeder dan para suster pasti sudah menungguku untuk makan malam.
Beberapa bulan telah lewat, Beban duka derita ini harus kutanggung sendiri. Tak seorang pun yang mengetahuinya. Bahkan moeder di biara pun tak kukabari. Satu-satunya orang yang kupercaya untuk mengetahui rahasia ini adalah Rama Sepuh, pembimbing rohaniku. Dengan bijak dan kata-kata sejuknya, ia senantiasa dapat meredam kegalauan pikiran dan keremukan hati ini. Dari Rama Sepuh, aku mendapatkan kekuatan dan ketabahan. Kadang dengan kasihnya yang tak terhingga, ia mengelus punggungku. Kadang dengan senyum kebapakannya, ia menatapku. Seolah dari pandang matanya yang bening itu dialirkannya kekuatan dan berkah melimpah, sehingga aku mampu menghadapi kepahitan hidup yang sering mngantarkan aku ke perasaan tak berarti dan sia-sia.
“Buluh yang layu tak akan dipatahkannya. Lampu yang berkedip-kedip tak akan dipadamkannya. Tuhan lebih besar dari masalahmu!” Demikian yang sering dikatakan Rama Sepuh yang menguatkan imanku. Dia jugalah yang mambuat iman ini tak goyang, meski hidup ini telah hancur, toh Tuhan masih memakaiku sebagai pewarta kebajikan. Guru-guru dan anak-anak di sekolah masih menantikan uluran tangan pengabdianku. Para orangtua murid masih banyak yang percaya kepadaku. Berkat kepemimpinanku, sekolah menjadi maju dan berprestasi. Inilah yang memberikan hiburan bagiku. Meski masih sering merasa bahwa hidup ini tak berarti, tapi kenyataannya Tuhan masih mempercayaiku untuk meneruskan karya-Nya, membuat segala sesuatu baik dan indah adanya. Dimuliakanlah Tuhan!
Bandung, akhir Desember 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H