hati yang buta
Dahulu, di sebuah kampung yang masih asri, hiduplah seorang lelaki bernama Sontoloyo. Sontoloyo tinggal bersama keluarganya di sebuah rumah gedong magrong-magrong dengan halaman yang cukup luas. Ada beberapa pembantu rumah tangga yang saban hari mengerjakan tugas-tugas sesuai dengan bidangnya. Ada yang bekerja di kebun memelihara tanaman dan kebersihan, ada yang bertugas membersihkan rumah, ada yang bertugas di dapur. Melihat kondisi rumah tangga yang kelihatan bahagia dan damai itu, banyak orang kampung yang segan dan hormat kepada Sontoloyo. Orang-orang kampung itu tidak pernah mempermasalahkan dari mana datangnya kekayaan Sontoloyo. Yang jelas, setiap hari, banyak orang yang berkunjung ke rumah Sontoloyo, dan diterima dengan ramah.
Meskipun kelihatan sebagai keluarga sukses, Sontoloyo ternyata memiliki sifat tabiat, kebiasaan yang telah menjadi wataknya, yaitu menipu. Setiap hari ada saja orang yang menjadi korban tipuannya. Pada awalnya, orang-orang percaya saja dengan apa yang dikatakannya. Tetapi setelah sekian lama, apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan kenyataannya, maka orang-orang baru menyadari bahwa Sontoloyo pandai memutar balikkan fakta.
Setiap hari ia selalu berhasil menipu orang-orang yang dijumpainya. Kepada siapa saja ia selalu berkata tidak benar. Ia selalu menipu. Sehari tidak menipu, mulutnya sudah gatal. Karena kebiasaan yang sudah menjadi wataknya itulah, maka seluruh kampung menjulukinya “Sontoloyo Tutip”. Artinya “Sontoloyo Tukang Tipu”. Bukannya merasa gerah dengan julukan itu, Sontoloyo malah bangga. Ia selalu berhasil memperdayakan orang-orang di sekitarnya. Harta benda yang dimiliki dan disimpan di rumahnya pun tak lepas diperolehnya karena hasil menipu. Bahkan konon, ia mendapatkan istrinya pun tak lepas dari hasil tipu dayanya. Karena kepiawaian bicaranya, orang tidak dapat lagi membedakan apakah kata-katanya itu benar atau tipuan. Yang jelas banyak orang tidak menyadari kalau mereka ditipu Sontoloyo.
Kabar tentang “Sontoloyo Tutip” terus merambah ke kampung lain. Orang-orang dekat yang mengenalnya sudah tidak ambil peduli. Mereka biasa-biasa saja menghadapi Sontoloyo. Orang-orang dari kampung lain yang mengetahui Sontoloyo penipu, segera berhati-hati. Mereka saling mengingatkan untuk berhati-hati jika bertemu dengan Sontoloyo. Hal ini tidak mengurangi kegiatan Sontoloyo untuk menipu. Bahkan ia merasa lebih pede menghadapi orang-orang di kampung lain.Ia berusaha meyakinkan orang-orang itu bahwa dirinya bukan penipu, tetapi mengatakan apa adanya.
Istrinya sempat menyarankan untuk berhenti menipu, “Oalah Pak, mbok kamu berhenti menipu tho? Gak baik itu.” Tetapi apa jawab Sontoloyo?
“Aku kan tidak merugikan mereka? Aku kan bicara apa adanya?” katanya membela diri.
Begitulah. Beberapa kali istrinya minta dia untuk berubah tidak menjadi penipu lagi, tetapi semakin sering istrinya minta dia berubah, malah dia semakin sering menipu orang.
“Jadi, kapan mau berubahnya?” kata istrinya jengkel, pada suatu hari
“Nanti, kalau sudah mau mati!” jawab Sontoloyo enteng. Istrinya pun tak bertanya lagi.
Suatu hari, Sontoloyo jatuh sakit. Sakitnya tambah lama tambah parah. Nampaknya Sontoloyo sudah tidak tahan lagi untuk hidup, maka dia pun berkata jujur pada istrinya.
“Bu, sekarang saya mau berkata jujur padamu. Ada sebuah wasiat. Di samping rumah kita kan ada pohon mangga. Nah, di bawah pohon mangga itu, aku menyimpan sebuah kotak wasiat. Kalau aku mati, nanti galilah tanah di bawah pohon mangga itu dan ambil kotak wasiat. Kuncinya ada di lemari.” Tak berapa lama, Sontoloyo pun mati dengan tenang.
Empat puluh hari setelah kematian Sontoloyo, istrinya mengingat pesan suaminya. Barangkali saja ia berkata benar. Maka ia menyuruh tukang kebun untuk menggali di bawah pohon mangga. Dan benar... kotak itu ada. Segera kotak itu diangkat dari tanah, lalu dibersihkan dan diserahkan kepada istri almarhum Sontoloyo. Istrinya mengambil kunci di lemari dan segera membuka kotak wasiat itu. Dan benar, ia menemukan surat wasiat. Istrinya berharap kali ini, suaminya tidak menipu lagi.
Setelah menenangkan deburan jantungnya, istriya membuka surat wasiat itu dan membacanya dengan pelan-pelan. Ada tertulis dengan huruf besar-besar dalam surat wasiat itu. Hanya satu kalimat. Ya satu kalimat saja. Inilah pesannya:
“Inilah tipuan saya yang terakhir!”
Istrinya: ???!!!
Catatan:
Kisah ini hanya rekaan atau karangan saja. Meskipun demikian, ada makna di dalamnya.
Terinspirasi dari sebuah khotbah
sumber gambar: www.sesawi.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H