“Ya, memang. Made sadar akan perbedaan kita, tapi Made sangat sayang sama Vani. Saking sayangnya, Made takut berpisah sama kamu!” katanya yang menggedor hatimu. Lalu ia meraih tanganmu dan meremasnya.
“Vani juga sayang sama Made, tapi bisakah kita dipersatukan jika kita tetap berbeda?” Kau berhenti sejenak menahan nafas yang tersendat di tenggorokan, menahan air mata yang segera tumpah. “Cobalah kita lihat dari sisi lain, keluarga kita sama-sama berharap agar kita tetap setia dan taat pada ajaran agama kita masing-masing. Oleh karena itu sebelum terlalu jauh kita melangkah yang mungkin membuat kita lebih sakit dan terluka, bagaimana kalau kita selesaikan semuanya sekarang saja.” Meski kata-katamu begitu tegas tapi rasanya kau gemetaran mengucapkannya.
“Ya, tetapi beri aku waktu untuk memikirkannya. Ini terlalu berat bagiku,” kata Made dengan wajah merah sambil menerawang jauh. Senja itu kalian lewati dengan tanpa bercanda seperti biasa. Kalian lebih banyak diam.
Hari berlalu begitu lamban dan berat bagimu. Kau lebih banyak mengunci diri di kamar, termenung, sambil mendengarkan lagu-lagu nostalgia yang sangat menyayat dan mengiris hati. Sampai-sampai air mata pedih tak dapat kau bendung. Di balik ketersiksaan itu kau masih sadar dan tegar, sehingga tidak larut dalam deraan perasaan, namun berani ambil keputusan tegas untuk mempertahankan keyakinan.
Sebulan berlalu dalam kenangan masing-masing. Pada hari Jumat tanpa sepengetahuanmu, Made sudah menunggu di gerbang kampus. Masih seperti dulu dengan dandanan yang khas, rambut hitam sepanjang bahu dibiarkannya tergerai. Senyumnya berseri, namun di balik itu terlihat jelas adanya kepahitan di matanya.
“Hai, udah lama nunggu?” celotehmu sambil meraih tangannya.
“Nggak lama, baru juga satu jam,” candanya masih seperti biasa. “Van, hari ini cuaca cerah, kayaknya enak buat jalan-jalan lho? Bagaimana? Mau ke tempat biasa, ke rumah kakakku atau jalan-jalan saja?” sambungnya.
“Ke mana saja, terserah kamu. Vani ikut saja!” katamu.
“Kalau begitu, bagaimana kalau ke rumahku?” Kau hanya mengangguk. Rumahnya memang tak begitu jauh dengan rumahmu. Satu kelurahan hanya beda kompleks.
Seperti biasa kalau kau ke rumahnya, Made selalu mengajakmu ke lantai atas rumahnya. Di sana ada teras yang nyaman, banyak bunga yang teduh, dan angin semilir segar. Made tahu kalau kau suka sekali menikmati pemandangan di sana. Awalnya kalian bercanda biasa, tidak terlalu serius, lalu kala kau menyinggung hubungan kalian, Made beranjak dari kursi rotan, lalu berdiri di pinggir pagar tembok setinggi pinggang.
“Van, aku sudah merenungkannya. Aku sadar akan perbedaan kita, tapi apa yang harus kuperbuat? Aku takut kehilanganmu.” Made akhirnya bicara memecah keheningan.