Ketika perusahaan perlu melakukan efisiensi biaya produksi secara keseluruhan, buruh selalu menuduh adanya biaya yang tinggi di luar upah yang perlu dilakukan efisiensi terlebih dahulu daripada melakukan efisiensi upah, seperti mendahulukan efisiensi ongkos angkutan, mencegah pungutan liar, dan lain-lain.
Pada titik ini, potensi konflik terjadi, yakni: ketika pengusaha mengelola usahanya dengan mengedepankan prinsip efisiensi, efektivitas, dan produktivitas. Sementara buruh tidak mau menjadi korban dari adanya 3 prinsip di atas melalui upah yang tidak layak.Â
Efisiensi dan Efektivitas
Efisiensi cocok diterapkan bagi perusahaan embiro/baru. Efisiensi didapatkan ketika biaya input semakin rendah untuk menghasilkan output tertentu yang sudah ditentukan.
Demi efisiensi ini, maka biaya tenaga kerja merupakan variabel yang paling mudah diutak-atik oleh pengusaha, sehingga rawan dijadikan sumber efisiensi perusahaan.
Dengan dalih sebagai perusahaan embrio itu pula, yang dijadikan alasan agar buruhnya bersabar dan menerima besaran upah sesuai atau bahkan di bawah Upah Minimum Provinsi.
Efektivitas cocok diterapkan bagi perusahaan yang sudah berkembang. Efektivitas didapatkan ketika output tercapai dalam waktu lebih singkat, namun dengan biaya input yang sama, sehingga upah yang diterima buruh juga relatif sama.
Efektivitas inilah tentunya yang menjadi jembatan buruh dan pengusaha untuk mencapai produktivitas perusahaan.
Produktivitas didapatkan apabila perusahaan mampu menghasilkan produk yang lebih banyak, dalam waktu yang lebih singkat, dan dengan biaya yang lebih rendah, namun dengan upah tenaga kerja yang tetap layak.Â
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dan Jamsostek
Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) merupakan salah satu kondisi yang diperlukan perusahaan agar mampu berproduksi dengan produktivitas yang tinggi.