Saya coba dulu menganalisa "tanggapan Mas Ary" di atas, mudah-mudahan bisa nyambung. Sebenarnya di dalamnya juga tersirat pesan "Theology" dan sekaligus "Genetic theory", tapi juga terselip "Quantum theorum" dan "Wave-Particle Dualism". Maka, apabila digali akan semakin dalam dan jika direntang semakin panjang. Baiknya pada tataran berikutnya dibahas oleh para ahlinya, supaya "shahih", karena sudah di luar jangkauan kompetensi saya yang amatiran.
"Zaman Kalatida" (julumat) menjadi kenyataan. Dalam zaman kegelapan ini orang meraba-raba kian-kemari asal pegang, yang buruk pun jadilah asal enak. Hukum yang tertulis di Kitab Undang-undang tampak indah dan teratur ketika disorot senter (sentolop). Namun menjadi rancu dalam prakteknya, mudah dimengerti karena kondisi realita memang dalam gulita. Kita masih boleh bangga, ternyata ada leluhur kita yang berkapasitas sebagai "futurist" handal (Joyoboyo).
"Zaman E d a n" justru dipromosikan oleh kalangan elite negeri ini. Pagelaran edan-edanan bahkan ditampilkan di salah satu pentas yang termahal di negeri ini, yaitu DPR. Wayang Purwo adalah warisan budaya adhiluhung, yang sekarang sudah diproklamirkan oleh Unesco sebagai milik dunia. Sesungguhnya ini merupakan "tontonan dan tuntunan" yang sacral, namun dibuat dagelan oleh para pejabat tinggi yang tak becus menari. Aibnya, justru mainnya di pentas Gedung Kesenian Jakarta, dan disiarkan melalui televisi. Dulu orang akan berkelahi kalau dibilang "edan" atau "gemblung", namun sekarang ada yang bangga berpredikat "Dalang Edan" atau "Dalang Gemblung". Anehnya, peminatnya cukup banyak. Kita juga masih boleh bangga, karena mempunyai "paragnost" yang visionair seperti R. Ng. Ronggowarsito.
"Zeitgeist DURGA" bahkan menghantui seluruh dunia. Kita saksikan aneka kerusakan di segenap penjuru bumi, dan darah pun tertumpah di mana-mana (Q.S. 2 Al Baqarah 30). Di Jakarta statistic pelacuran semakin berbunga-bunga, dan kriminalitas tambah merajalela. "Human tragedies!"
Yang Mas Rudy sampaikan adalah ayat-ayat mutasyaabihaat (allegory), nampaknya sih terkesan sederhana, tapi bagi saya cukup rumit, sehingga tidak mudah menguraikannya. Namun ini bisa diatasi, apabila formulasinya kita hubungkan dengan ayat-ayat Al Qur'an berikut :
· Q.S. 2 AL BAQARAH 30 : Manusia dijadikan Khalifah tapi membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah.
· Q.S. 3 ALI ‘IMRAN 7 : Al Quran (mewakili Kitab-kitab Suci lainnya) mengandung lebih banyak ayat-ayat dalam bentuk kiasan atau perumpamaan, sehingga cenderung "diplintir" (manipulated) oleh orang-orang yang korup (dzalim). Dan orang-orang bodoh dengan sendirinya tidak bisa memahami, sehingga sesat penafsirannya. Ayat-ayat demikian adalah konsumsi bagi orang-orang yang nuraninya tercerahkan, di samping luas pula pengetahuannya.
· Q.S. 33 AL AHZAB 72-73 : Manusia diberi amanah tetapi amat dzalim dan amat bodoh, sehingga cenderung munafik dan menghianatinya.
"Cupu Manik Astagina" dihadiahkan kepada Dewi Indrardi oleh Bathara Surya. Saya melihat analoginya kepada kisah Bunda Maryam, yang memperoleh pendidikan dan makanan langsung dari Tuhannya (Q.S. 3 ALI ‘IMRAN 36-37). Maknanya menjadi semakin luas dan mendasar, apabila dihubungkan dengan Q.S. 4 AN NISAA', utamanya ayat yang pertama.
"Sorga di telapak kaki Ibu!" dan "Wanita adalah tiang Negara." Merupakan suplemen ayat-ayat tersebut di atas. Kedua ungkapan ini menegaskan bahwa kaum wanita memegang peran utama dalam pendidikan dan pemeliharaan generasi muda. Apabila kaum pria membiarkan peran tersebut tidak berfungsi dengan semestinya, karena kaum ibu terlampau sibuk mencari nafkah atau mengejar karir, maka timbullah kegaduhan karena munculnya "generasi k e r a", atau menjadi galau karena kehadiran "the lost generation". Kini tragedi semacam itu sedang kita saksikan di negeri ini.
Semua yang hadir di dunia berpasangan, ada buruk lawan baik, dan ada mudharat lawan manfa'at (Q.S. 21 AL ANBIYAA' 35, Q.S. 36 YAA SIIN 36). Ibarat pistol, di tangan polisi aman, tapi di tangan penjahat jadi ancaman. Tidak terkecuali, ini pun berlaku buat agama (Q.S. 2 AL BAQARAH 102, Q.S. 3 ALI ‘IMRAN 7). Subali dan Sugriwa menjadi kera karena berebut "Cupu Manik Astagina" adalah kias semangat generasi muda yang menggebu dalam mengejar agama, tapi dasarnya nafsu dan amarah sebagai andalannya, dan hanya didukung oleh nalar yang sempit dan dangkal. Memakai atribut-atribut agama, tapi perilakunya tidak sesuai dengan "standard performance" agama. Sebagian bahkan bangga menjadi teroris, yang membunuhi orang-orang yang beragama sama dengan dirinya.
K e r a adalah binatang "arboreal" yang hidupnya bergelayutan di pohon-pohon, termasuk hewan "omnivores" (pemakan tanaman dan hewan sekaligus). Ini karikatur kepemimpinan papan atas yang buruk dan rakus. Gayus Jenius layak tampil sebagai model kader kepemimpinan semacam itu. Sungguh "brilian", karena dia pada jenjang D3 dan masih muda pula sudah bisa menghimpun uang hingga puluhan milyar rupiah. Ditahan pun memperoleh layanan VIP, bahkan dapat berlibur dan berwisata ke manca negara. Karikatur ini membudaya di kalangan pejabat pemerintah, walaupun bukan budaya tradisi. Ini membuktikan akurasi pepatah orang-orang tua kita: "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Sekarang bahkan lebih kreatif, "Guru kencing berdiri, maka serta merta murid mengencingi gurunya!" Tak usah heran, "Zaman Edan" ini memang sudah diprediksi.
Q.S. 6 AL AN'AAM ayat 123: "Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya".
"Gua Kiskenda" tempat Subali berlaga dengan Maeso Suro merupakan metafora yang parallel dengan kondisi julumat "Zaman Kalatida" yang kelam, bilamana tampuk kepemimpinan formal diamanahkan kepada "kera yang dzalim" dan kepemimpinan informal diamanahkan kepada "kerbau yang bodoh". Posisi Maeso Suro yang cuma tamatan SD itu kemudian digusur oleh Resi Subali yang sakti mandraguna (cumlaude S3). Rahwana yang sedang terbang di angkasa tiba-tiba jatuh terjungkal ke tanah ketika melewati Sang Resi yang sedang kencing berdiri. Dia berang, maka dilawanlah Resi Subali, tapi dia sendiri yang kalah telak. Rahwana memang dasarnya "julig" (creative destructive), maka cukup jeli melihat peluang emas untuk meningkatkan (leverage) kesaktiannya, serta merta dia mendaftar menjadi "protégé" (murid) Resi Subali. Dari Sang Mentor dia memperoleh ajaran "Aji Pancasona", di samping itu dia bereksperimen "kencing sambil berlari" agar lebih unggul dari gurunya. "Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga". Dasar kurang ajar, maka dia pun terus belajar dan mengadakan "exercises" sambil terbang. Jenius pinter keblinger ini berhasil meningkatkan daya jangkau semprotannya yang menjadi semakin luas, ini tandingan "cluster bom." Rahwana yang semakin sakti itu lalu mengembangkan bakatnya sehingga menjadi "Raja Teror". Ma'af Mas Rudy, wacana ini terkesan urakan. Scenario ini sesungguhnya realistis dan penting sekali, maka penyajiannya saya dramatisir supaya orang senantiasa ingat dan waspada.
Subali dan Sugriwa akhirnya terlibat dalam perkelahian, karena kedudukan dan wanita. Ini sesungguhnya gambaran fitrah alami manusia, yaitu "individual survival instinct" dan "species survival instinct". Akhirnya dimenangkan oleh Sugriwa dengan bantuan Rama Wijaya (titising Wisnu), ini lambang pencerahan dan sekaligus metafora "evolusi fisik dan mental manusia". Skenario ini juga gambaran "conflict of generations" yang kini sedang berlansung, yang oleh Samuel P. Hutington terkesan sebagai "the clash of civilization". Dalam Mahabharata ditampilkan melalui "Bharata Yudha", perang tanding di palagan Kurusetra antara Kurawa yang saudara tua dengan Pandawa yang saudara muda. Pendawa akhirnya menang, karena dipandu oleh Kreshna (titising Wisnu). "Human conflicts" ini juga diisyaratkan dalam Al Qur'an melalui kisah anak-anak Adam, yaitu Qabil dan Habil, yang menggambarkan "individual conflict" (Q.S. 5 AL MAAIDAH 27-32). "Social conflicts" diisyaratkan melalui kisah Nabi Yusuf a.s. dan Benyamin adiknya, yang dikhianati oleh abang-abang atau saudara tuanya sendiri (Q.S. 12 YUSUF 1-19).
"Bharata Yudha" menampilkan Senapati yang berpasang-pasangan. Adipati Karna yang dibimbing Salya melawan Arjuna yang dipandu Kreshna. Ini gambaran "inner conflict" antara indera yang dibimbing amarah dengan akal yang dipandu nurani. Di samping itu Resi Bisma bertarung menghadapi Wara Srikandi, yang dimenangkan Senapati wanita. Barangkali ini dimaksudkan sebagai symbol "conflict of gender"? Catatan "future history" ini kemudian digelar melalui fenomena Gus Dur yang bersaing dengan Megawati Soekarnoputri", yang juga dimenangkan oleh wanita. Di berbagai penjuru bumi semakin banyak wanita menempati posisi puncak pemerintahan, menggeser dominasi kaum pria. "Power Shift", pergeseran kekuatan dari YANG ke YIN, maka kepemimpinan beringsut dari "Hard Power plus Tough Leadership" ke arah "Soft Power plus Flexy Leadership." Ataukah ini juga sebagai isyarat "Kebangkitan Bunda Maryam", sebagai "prelude" daripada "Kebangkitan Isa al-Masih" (Q.S. 19 MARYAM 30-34)? Alangkah baiknya kalau ini disimak dengan cermat, utamanya oleh institusi kajian agama.
"Keduanya berhenti berantem manakala masing-masing mengaku anaknya Resi Gotama.
Kitapun berhenti berantem manakala menyadari bahwa ilmunya serumpun." (Rudy R.)
"Fundamentally rotten" - baik krisis Indonesia maupun krisis global bersifat mendasar dan bercorak multidimensi, para pakar sekalipun terkesan tidak memahami akar permasalahannya, apalagi mengatasinya. Manusia sudah sampai ke "level of incompetence", serba gagap, maka sudah saatnya memanfaatkan agama-agama secara utuh dan terintegrasi. Di samping itu menciptakan kerukunan dan membangun kerjasama antar umat beragama melalui kesadaran adanya kesatuan agama-agama atau "unify of religions", yang dikenal dengan istilah "Wihdat ad-Dyan" atau Philosophia Perennis. ALLAH Rabbul ‘Alamin Maha Bijaksana, maka sebagai modelnya "Ibadah HAJJI" yang diajarkan melalui Nabi Ibrahim a.s. selaku "Iman segenap umat" (Q.S. 2 AL BAQARAH 124). Kemudian "Wayang Purwo" gubahan Wali Songo dipagelarkan sebagai "proto type" daripadanya, dan kini telah diproklamirkan sebagai "warisan budaya dunia" oleh Unesco. Agama-agama ibarat satu pohon, vertical seperti akar, batang, dan cabang, horizontal seperti daun, bunga, dan buah. Ini peluang dan tantangan bagi bangsa Indonesia, karena kepulauan Nusantara telah terprogram sebagai "melting pot" semua agama, dan sekaligus dipersiapkan sebagai lahan uji-coba kerukunan dan kerjasama antar umat beragama.
Kemudian, Sugriwa dan Subali diperintahkan bertapa.
Kitapun, hendaknya bertafakur, merasakan Kekuasaan Yang Maha Kuasa (Qudrot), yaitu dengan merasakan Taqdir, sehingga mengetahui dengan jelas Qodiruun. (Rudy R.)
Via Purgativa, via Meditativa, via Contemplativa, via Activa (Q.S. 3 ALI ‘IMRAN 189-191). Kehidupan semakin kompleks, dinamis dan kompetitif, maka sebaiknya manusia tekun bersamadi dalam upaya "manunggaling kawulo Gusti" (Wihdat as-Suhud). Di samping rajin "membaca" ayat-ayat di segenap penjuru alam, pada dirinya sendiri, dan Kitab Suci, supaya bertemu dengan Tuhannya (Q.S. 41 Fushshilat 52-54). Dengan demikian dalam menempuh perjalanan hidupnya manusia senantiasa dibimbing "Sang Guru SejatI", yaitu ALLAH Rabbul ‘Alamin. Insya ALLAH!
Mas Rudy Rianto yang waskita, terimakasih telah mengingatkan saya, sehingga tulisan saya tidak jungkir balik. Tak terpikirkan sebelumnya, dan sungguh luar biasa. "Mendem jero, mikul duwur!" Awali dulu dengan "Cupu Manik Astagina" sebagai "furqan" (parameter/tolok-ukur), akhiri kemudian dengan "Perang Alengka" sebagai "hudan" (innovation/tolak-ukur). Ibarat pohon, gali dulu supaya kelihatan jelas akar permasalahannya, baru kemudian panjat pohon sampai ke puncak agar pandangan luas menembus "beyond the horizons" (Q.S. 14 IBRAHIM 24-27). Nuwun sewu dan matur nuwun, saya menggunakan "bahasa gaul" sekedar mengikuti selera masa kini (alasan karena tak pandai menulis). Akan saya jadikan bahan diskusi dengan sahabat-sahabat.
Salam hormat,