Ketiadaan batas maksimal dukungan pasangan calon ini membuat pasangan calon dengan sumberdaya melimpah bebas untuk "memborong" partai politik yang memiiliki kursi di DPRD, apalagi misalnya dengan hitungan - hitungan mereka akan lebih mudah menang dengan hanya satu calon daripada lebih dari satu calon maka mereka akan berusaha memborong semua partai  untuk menjadi perahu mereka.  Kalau bisa dikatakan ada sisi yang perlu diperbaiki dalam perundang-undangan kita sehingga dapat membatasi munculnya calon tunggal ini.
Dapatlah kita katakan dengan akumulasi kekuasan, sumberdaya yang melimpah dan ketiadaan regulasi yang membatasi batas maksimal syarat dukungan membuat pasangan calon tertentu leluasa melakukan aksi borong partai untuk menghambat pasangan calon lain maju dan membuat dia melenggang sendirian dalam pilkada.
Demokratiskah?
Kemunculan calon tunggal jelas menjadi perdebatan di tengah-tengah masyarakat. Â Dari sisi proses penumbuhan dan pengembangan demokrasi tentu banyak yang berpendapat bahwa calon tunggal dapat diartikan sebagai kemunduran dalam sebuah proses demokrasi yang sedang tumbuh ini. Â
Sebagaimana yang kita ketahui dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 kemunculan calon tunggal ini sudah diakomodasi dalam Pasal  54C, disebutkan bahwa pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolomyang terdiri dari atas satu  kolom yang memuat foto pasangan calon dan satu kolom kosong yang tidak bergambar.  Sehingga walaupun ada calon tunggal peoses pemilihan dalam pilkada tidak terhambat. Â
Metode pemilihan seperti ini jamak disebut sebagai Metode Bumbung Kosong. Â Dalam pasal lain disebutkan tepatnya Pasal 54D Ayat 1 disebutkan bahwa pasangan calon tunggal tersebut dapat ditetapkan sebagai pemenang pilkada apabila mampu meraih lebih dari 50 persen suara sah.
Namun Metode Bumbung Kosong juga masih bisa diperdebatkan karena sebenarnya rakyat di daerah tidak ingin dan tidak ada niatan untuk misalnya memilih bumbung / koatak kosong. Â
Mereka tentu ingin memilih salah satu putra terbaiknya untuk bisa mereka pilih untuk menjadi pemimpin mereka tidak tahu hasilnya menang atau kalah. Â Tetapi kalau hanya Satu calon dan Kotak kosong rakyat tidak diberi banyak pilihan, bahkan rakyat seakan-akan "dipaksa" hanya memilih satu calon bukan memilih salah satu calon. Â Ini tentu bukan sesuatu yang menggembirakan dalam demokrasi kita. Â
Sudah saatnya saya kira rakyat diberikan kebebasan untuk memilih calon-calon yang tersedia dalam proses pilkada yang demokratis karena kita kawatir rakyat memilih pemimpinnya dengan  "keterpaksaan" memilih satu calon karena tak ada pilihan lain yang disediakan.Â
Kemunculan banyaknya calon tunggal dalam Pilkada serentak ini tentu menjadi pembelajaran dalam kita berdemokrasi, ke depan saya kira kemunculan calon tunggal perlu diminimalisir dengan salah satunya pembatasan ambang batas maksimal syarat dukungan calon sehingga rakyat benar-benar memilih pemimpinnya dengan keleluasaan dan kebebasan bukan "terpaksa" atau "dipaksa" karena kondisi hanya satu pasangan calon yang muncul dalam pilkada.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H