Mohon tunggu...
Sugeng R. Bralink
Sugeng R. Bralink Mohon Tunggu... Perawat - Pekerja Migran Indonesia di Qatar

Berbagi tak selalu dengan harta. Dengan karya jurnalisme yang benar dan terpercaya, kita bisa berbagi kebaikan untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sebelum, Selama & Sesudah Ramadan

31 Juli 2014   04:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:10 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_335736" align="aligncenter" width="700" caption="dok.pribadi (fotografi: Wisnuendro)"][/caption]

Dukhan - Qatar | Ramadan, bulan yang didalamnya ada malam seribu bulan. Ramadan, bulan yang didalamnya dibuka lebar-lebar pintu rahmat, ampunan dan pembebasan diri dari api neraka. Bulan yang sangat mulia bagi siapa saja yang mengimaninya.

Ramadan, baru saja berlalu. Pergi meninggalkan hamba-hambaNya yang beriman. Semangat Ramadan masih bisa kita ingat dengan baik. Semangat itu masih melekat dalam otak kita. Semangat umat beriman yang rela bangun diawal pagi sebelum azan dikumandangkan. Rela membuka mata yang masih rapat dibalik selimut. Berebut hikmahnya mengakhirkan makan sahur.

Rasa berat di kaki untuk melangkah ke masjid berubah menjadi langkah kaki yang ringan. Shof-shof sholat di masjid dipenuhi jamaah.

Tidak hanya sholat tarawih di malam hari, shof-shof sholat lima waktu bertambah jumlahnya, bahkan shof-shof sholat malam di 10 hari terakhir Ramadan. Sebuah pemandangan betapa indahnya berjamaah. Betapa indahnya kebersamaan dalam iman dan islam. Islam yang begitu nampak ghirahnya!

Suara-suara merdu bacaan tartil Qur’an terdengar di setiap waktu. Suasana masjid ba’da sholat wajib dipenuhi jamaah yang merutinkan dalam membaca dan mengkaji ayat-ayatNya. Lidah yang terbiasa kelu untuk melantunkan ayat-ayat suci, selama ramadan berubah seketika. Setan-setan yang dibelenggu seolah tak mampu menggoda lidah untuk tidak membaca dan mentadabburi kitab petunjuk kehidupan, Al Qur’anulkareem.

Kaum kurang mampu secara ekonomi menjadi terperhatikan. Hadirnya Ramadan merupakan keberkahan bagi mereka. Ramai orang begitu ringan dalam mengeluarkan infaknya. Berzakat, berinfak dan bershodaqoh menjadi hal yang sangat nikmat ditunaikan.

Di luar Ramadan, berat sekali rasanya mau merutinkan puasa sunnah senin dan kamis. Padahal Cuma dua kali seminggu. Tapi ketika Ramadan tiba, semua yang beriman terpanggil, walaupun harus berpuasa setiap hari sebulan penuh, semangatnya begitu luar biasa. Semua menjadi ringan tanpa beban.

Saya nggak tahu kenapa sebabnya. Bisa jadi karena lingkungan sekitar yang sedang berpuasa semua. Bisa jadi karena warung-warung favorit pada tutup di siang hari. Bisa jadi karena nggak ada yang masakin.

Bisa jadi berharap terampunkan dosa-dosanya semasa hidup di dunia seperti sabda Rasulullah

"Siapa berpuasa Ramadhan imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan siapa shalat pada Lailatul Qadar imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)



Bisa jadi karena benar-benar berharap keridhoan Allah dan memenuhi panggilan Allah seperti termaktub dalam QS Al Baqarah:183.

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)



Puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga. Yang terberat dari puasa adalah bagaimana kita menjaga hati, ucapan dan perbuatan selama sebulan penuh. Maka Rasulullah sampai menamakan perang melawan hawa nafsu adalah jihad terbesar dalam hidup.

Betapa mudahnya kita mengkoreksi orang lain, tapi betapa susahnya kita mengkoreksi diri sendiri. Betapa mudahnya ngomongin kekurangan orang lain, tapi betapa susahnya kita ngomongin kekurangan diri sendiri. Lidah memang tak bertulang, tapi bukan berarti yang lunak itu tak bisa menyakiti!

Ramadan tahun ini telah usai. Perang sudah berakhir. Apakah kita meraih kemenangan atau kekalahan? Jawabannya: Wallahu a’lam. Hanya Allah yang Maha Tau. Tapi paling tidak kita bisa menilai sebagus apa puasa yang sudah kita jalani. Kualitas puasa seperti apa yang sudah kita catatkan dalam kitab catatan amal kita masing-masing. Catatan amal yang akan dibuka kembali saat yaumil hisab kelak.

Tergolongkah kita ke dalam golongan muttaqin. Golongan yang beruntung. Golongan yang benar-benar meraih hikmah puasa ramadan yang sesungguhnya. Golongan yang tidak hanya mendapatkan lapar dan dahaga selama ramadan, tapi golongan orang-orang yang bertaqwa.

Jikalau ramadan semangat sholat jamaah, tilawah Qur’an, berinfak dan beramal soleh begitu membara, semoga kita mampu menjaganya pada sebelas di luar ramadan. Menjaga semangat untuk terus mendekatkan diri kepada Sang Maha penggenggam setiap nyawa yang hidup di dunia ini.

Jikalau sebelum ramadan kita malas, selama ramadan kita semangat, maka sesudah ramadan kita harusnya makin semangat!

Hendaknya Ramadan menjadi sebuah pijakan untuk menjadi diri pribadi yang lebih baik pada sebelas bulan berikutnya. Ramadan menjadi sebuah bulan refleksi dari bulan-bulan lainnya. Tatkala diri kita sudah mulai melenceng dari koridor shirottol mustaqim, kembalilah pada hikmah ramadan! Semoga Allah pertemukan kita kembali dengan ramadan tahun berikutnya.
Wallahua’lam bisshowab.

Dukhan, 30 Juli 2014/3 Syawal 1435H

@sugengbralink

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun