Nah, ternyata yang dimaksud dengan kota cerdas di tajuk berita ini ada pada paragraf terakhir, yakni perancang tata kotanya. "Para perancang tata kota, bukan kotanya, yang dituntut cerdas". Dan apesnya, perancang tata kota hampir selalu menegasikan keberadaan masyarakat kota yang kurang beruntung. Ya selama masih tidak sedap dipandang mata, mau tidak mau harus ditepikan secara paksa.
Padahal tata kota 'seharusnya' tidak hanya diperuntukkan untuk pembangunan fisik saja, tapi juga kualitas sumber daya manusianya. Melalui apa? Melalui distribusi ruang baca yang merata, ruang hijau yang tidak hanya sekedar simbol, dan ruang kesenian-budaya yang adanya tidak hanya saat pagelaran event besar. Ya mau bagaimana pun gencarnya pembangunan fisik, jika kualitas sumber daya manusianya belum memadai, yang ada ya hanya kerepotan demi kerepotan. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H