Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Desa itu (Tak) Mandiri

3 Agustus 2021   11:34 Diperbarui: 3 Agustus 2021   12:04 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak masa silam desa tidak pernah absen dalam perbincangan yang tengah hangat di negeri ini. Desa selalu tampil dengan dua wajah, cerah dan pasrah.

Cerah berarti desa dibunyikan dalam tulisan dengan segenap kesahajaannya. Pasrah berarti desa dibunyikan dalam tulisan dengan polemik yang jauh dari kata canggih dan modern. Termasuk upaya desa dalam menangani pandemi.

Banyak tokoh dan ahli dalam urusan tata pedesaan optimis dengan derap langkah yang dilakukan desa dalam upayanya mentas dari kondisi pandemi. Desa dianggap memiliki modal yang baik ketimbang kota dalam mengurusi pandemi.

Padahal dari kasat mata, secara pembangunan misalnya, desa harus berbenah demi menahan laju warganya agar betah dan nyaman di tempat kediamannya. Karena kalau banyak warga yang berbondong-bondong ke kota, maka desa dengan segala rencananya akan pupus. Ya mungkin ada beberapa bidang yang akhirnya lumpuh tak terurus.

Tapi berkaitan dengan kata 'optimis' itu tadi, AB Widyanta (Peneliti Pusat Studi Perdesaan dan Kewilayahan (PSPK) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) menilai bahwa desa mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri di masa pandemi ini. Menurutnya desa memiliki modal mendasar yang cukup kuat, yang mungkin malah lebih kuat dari penduduk di wilayah kota.

Modal yang dimaksud meliputi natural resources (sumber daya alam) dan social forces (kekuatan sosial). Dua modal ini menjadi pilar penyangga dari sebuah desa.

Pernyataan AB Widyanta selanjutnya, selama pandemi mendera, warga desa masih bisa berkecukupan dari sisi ekonominya. Hal ini ditengarahi oleh tindakan ekonomi yang dilakukan warga desa dengan cara ekonomi subsisten.

Ekonomi subsisten berarti warga desa memproduksi, memasarkan, dan mengonsumsi produk yang berada di kawasan desa tersebut. Desa digambarkan telah bisa berdiri secara mandiri.

Penilaian ini dapat kita temukan pada Koran Kompas edisi Selasa, 3 Agustus 2021 dengan tajuk berita 'Desa Berinovasi Atasi Pandemi'.

Nah, selain dua modal dan tindakan perekonomian yang menjadi penunjang kemandirian desa di masa pandemi, ada satu poin penting yang tidak boleh dilewatkan ketika berbicara tentang sebuah desa.

Apa poin penting itu? Ya benar, jawabannya adalah dana yang digelontorkan untuk desa dari pemerintah. Dana itu jumlahnya besar dan banyak.

Kendati begitu, pemerintah telah mewajibkan bagi semua desa untuk menyisihkan 8% dari total dana yang diperoleh untuk menangani pandemi. Angka 8% ini bukan angka yang sedikit jika konteksnya di desa.

Satu desa misalnya mendapatkan gelontoran dana sebesar 500 juta. 8% dari 500 juta akan ditemukan angka 40 juta. Dana segitu bisa jadi cukup untuk membantu pemutusan rantai pandemi.

Misalnya membuat tempat cuci tangan di lokasi-lokasi yang kerap digunakan untuk nongkrong, membagikan hand sanitizer, membuat poster himbauan kemudian ditempel di banyak sudut desa, serta melakukan penyemprotan virus secara berkala.

Kecukupan dana segitu juga ditunjang oleh dua modal yang sebelumnya telah disebutkan di atas, terutama kekuatan sosial.

Kemungkinan berhasil akan lebih tinggi jika kekuatan sosial di desa itu juga tinggi. Misalnya mau membantu tetangga secara sukarela jika ada yang terpapar, membelikan kebutuhan pokok bagi tetangga yang isoman, dan masih memiliki sisa-sisa jiwa tanpa pamrih ala kehidupan warga di desa.

Namun jika banyak warga desa, bahkan pamong-pamongnya sudah terjamah oleh konsumsi arus informasi yang terjadi dewasa ini, kemungkinan berhasilnya akan kecil. Kenapa? Ya warga desa bisa saja mengatakan, "Lha wong yang pejabat saja korupsi dana bansos dan sibuk dengan dirinya sendiri tidak terlalu peduli dengan kondisi rakyat di bawah, kenapa kami yang di bawah harus mati-matian memikirkan yang lain?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun