Apa poin penting itu? Ya benar, jawabannya adalah dana yang digelontorkan untuk desa dari pemerintah. Dana itu jumlahnya besar dan banyak.
Kendati begitu, pemerintah telah mewajibkan bagi semua desa untuk menyisihkan 8% dari total dana yang diperoleh untuk menangani pandemi. Angka 8% ini bukan angka yang sedikit jika konteksnya di desa.
Satu desa misalnya mendapatkan gelontoran dana sebesar 500 juta. 8% dari 500 juta akan ditemukan angka 40 juta. Dana segitu bisa jadi cukup untuk membantu pemutusan rantai pandemi.
Misalnya membuat tempat cuci tangan di lokasi-lokasi yang kerap digunakan untuk nongkrong, membagikan hand sanitizer, membuat poster himbauan kemudian ditempel di banyak sudut desa, serta melakukan penyemprotan virus secara berkala.
Kecukupan dana segitu juga ditunjang oleh dua modal yang sebelumnya telah disebutkan di atas, terutama kekuatan sosial.
Kemungkinan berhasil akan lebih tinggi jika kekuatan sosial di desa itu juga tinggi. Misalnya mau membantu tetangga secara sukarela jika ada yang terpapar, membelikan kebutuhan pokok bagi tetangga yang isoman, dan masih memiliki sisa-sisa jiwa tanpa pamrih ala kehidupan warga di desa.
Namun jika banyak warga desa, bahkan pamong-pamongnya sudah terjamah oleh konsumsi arus informasi yang terjadi dewasa ini, kemungkinan berhasilnya akan kecil. Kenapa? Ya warga desa bisa saja mengatakan, "Lha wong yang pejabat saja korupsi dana bansos dan sibuk dengan dirinya sendiri tidak terlalu peduli dengan kondisi rakyat di bawah, kenapa kami yang di bawah harus mati-matian memikirkan yang lain?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H