Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Abai Rasa Aman di Masjid

3 Juli 2020   23:54 Diperbarui: 3 Juli 2020   23:50 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan di masjid menjadi kebutuhan mendesak yang kerap luput untuk diejawantahkan. Biasanya pengurus masjid abai dalam hal ini. Usai terjadi kehilangan sandal sebelah kiri, spion montor, atau helm, pengurus masjid baru melakukan tindakan.

Ini ibarat orang yang memiliki potensi terkena banyak penyakit, namun tidak memperhatikan kesehatannya sendiri. Minum es teh sepuasnya, makan daging sekapoknya, dan merokok terus-terusan (maaf jika menyindir jamaah asap karena dijadikan contoh).

Baru ketika kanker datang, stroke bertamu, pusing kepala yang tidak urung berhenti, demam berkepanjangan ditambah batuk berdahak, tubuh diproteksi dengan makanan bergizi, minum susu, menjauhi rokok, dan mengkonsumsi obat-obatan yang bukan terlarang.

Nah, di titik inilah kalau falsafah "mencegah lebih baik daripada mengobati" bisa berbicara, ia mungkin akan rewel ngomel-ngomel tanpa ampun. "Kan, rasain. Dikasih tahu dari awal bandel terus. Kapok!!!", dengan sorot mata melotot tajam dan bibir monyong ke depan.

Ya meski yang dicuri nominalnya tidak sebesar pejabat pemerintahan, tapi ini cukup meresahkan para jamaah masjid. Bagaimana tidak, lha wong ketika hendak pergi ke masjid sudah dihantui dengan perasaan sandalnya akan hilang.

"Kemarin sandal egger ku yang kw hilang, sekarang pakai swallow yang talinya sambungan juga hilang. Apa besok saya berangkat tidak pakai sandal terus pulang ambil sandal aja ya? Huft, sebel bets!".

Dan parahnya, kejadian barang hilang di masjid walau tidak seberapa ini bisa berpotensi mengancam khusyuknya beribadah para jamaah, terutama shalat.

Bayangan yang muncul saat takbiratul ikhram sampai salam tidak lagi hanya membayar cicilan kredit montor dan kontrakan, kunci montor lupa ditaruh di mana, atau diskon kosmetik wardah, tapi juga was-was kalau barangnya ada yang lenyap saat shalat ditunaikan. Fokusnya tidak lagi kepada Yang Maha Melindungi, tapi malah ke barang-barang yang dibawanya.

Mengantisipasi itu, pengurus masjid biasanya memasang cctv. Anggap saja teknologi yang lumrah digunakan di banyak tempat untuk melihat gerak-gerik manusia. Setiap sudut masjid dipasangi cctv, kecuali mungkin di dalam kamar mandi yang tidak dipasang cctv demi kenyamanan. Tapi itu hanya dugaan saya. Ya barangkali ada masjid yang agak abstrak imajinasinya dan iseng memasangnya, itu di luar jangkauan saya, hehe.

Jadi mudah saja, ketika ada barang yang hilang di masjid, sandal misalnya. Korban tinggal melapor kepada pengurus masjid dengan memberitahu ciri-cirinya, warna sandal, atau tempat terakhir sandal itu dilabuhkan.

Pengurus masjid tinggal melihat rekaman ulang cctv-nya. Kemudian memperbesar gambar pelaku pencurian sandal agar terlihat wajahnya yang tidak terlalu ganteng amat itu, dan terakhir pelaku sudah bisa didakwa dan dilaporkan sebagai pencuri dengan bukti yang kuat, yakni cctv.

Pengoperasian cctv masjid yang sesederhana itu tidak perlu kita bandingkan dengan misalnya, keberadaan cctv yang emoh berfungsi di kantor pemerintahan sehingga banyak uang milayaran lenyap. Mau bagaimana lagi, apapun di negeri ini bisa disuap, termasuk cctv yang juga butuh asupan nutrisi bergizi untuk keluarganya.

Selain cctv, pengurus masjid juga bisa mengantisipasi pencurian dengan berjaga sebagai satpam ketika shalat sedang ditunaikan. Tenang alih profesi sementara ini tidak bakal menggoyahkan akidah keimanan dan mengurangi kesalehanmu di depan mata calon mertua. Malah bisa jadi, mertua memberi apresiasi karena dirimu mau secara sukarela menjadi garda terdepan pemberantas pencurian di masjid.

Pernyataan alternatif pernah diutarakan oleh Pimpinan Kalbun Salim, sebuah majelis suka-suka yang didirikan untuk melestarikan kebudayaan lokal dengan basis epistemologi irfani. Majelis ini banyak bergerak di bidang kuburan, tempat keramat, dan naskah-naskah lama.

Katanya, "menjaga keamanan saat orang lain menunaikan jamaah shalat itu baik dan mulia. Lha iya kan, yang jamaah bisa tenang tidak kepikiran barang-barangnya hilang sampai ia salam menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri".

Tenang tidak perlu naik pitam dan mengecam pernyataan itu salah-sesat hanya karena kamu menafsiri berati lebih baik sebagai satpam dibanding shalat jamaah. Itu tidak perlu. Toh itu hanya sebuah pernyataan yang bisa disangkal, digugat, dan dibantah oleh siapa pun, kapanpun, dan di manapun.

Tapi yang jelas, pernyataan kontroversial itu muncul karena alasan yang melatarbelakanginya jelas, yakni kebutuhan rasa aman dari para jamaah yang sedang beribadah. Saya hanya menganggap ini sebagai bagian dari perspektif seorang manusia yang memiliki hak kemerdekaan berfikir.

Kita juga bisa saja memberi pernyataan, misalnya setiap shalat ditunaikan, gerbang dan pintu masjid ditutup. Soal pernyataan kita akan dilaksanakan sesuai prosedur kerja atau tidak sama sekali, itu tergantung kesepakatan kolektif pengurus masjid dan jamaah sekitarnya.

Dulu saya akrab dengan teman sesama pengurus masjid, sebut saja namanya Mas Eem. Ia selalu memposisikan dirinya sebagai tukang parkir masjid setiap kali adzan dikumandangkan. Kemudian beralih menjadi satpam saat shalat ditunaikan.

Alih-alih berseragam rapi seperti security atau pakaian agama dengan baju koko, sarung, lengkap dengan peci hitam, ia malah memilih mengenakan kaos dan sarung. Style itu istiqomah ia pakai, meski kadang ada perubahan variasi warna yang hanya itu-itu saja.

Ia cerita bahwa di awal-awal ia melakoni profesi sementara itu kerap kali kecolongan. Entah sandal, mukena atau sarung masjid, helm, bahkan montor juga pernah disikat maling cap jamaah masjid.

Tapi katanya setelah menjalani profesi itu selama enam bulan, "tapi saya sekarang sudah hafal orang-orang yang akan melakukan pencurian melalui gerak-geriknya". Sekarang ia sudah menikah dan mukim di desa di pesisir utara pantai Jawa bersama istrinya.

Selain dua cara itu, ada cara ketiga yakni dengan menyediakan tempat penitipan barang. Tentunya dengan dua syarat, yakni hanya barang-barang tertentu yang bisa dititipkan, lemari es, ac, atau surat utang tentu akan ditolak. Dan durasi penitipan tidak bisa semena-mena.

Jangan membayangkan karena gratis, barang bisa dititipkan sampai pemilihan presiden dua periode mendatang. Hanya saja, cara ketiga ini bisa dilakukan oleh masjid-masjid yang besar. Masjid kecil saya sarankan tidak usah ngotot membuat tempat penitipan barang, karena tentu akan memakan beberapa ruas ruang masjid.

Kendati tiga cara itu cukup populer sebagai solusi ketika masjid terjadi pencurian, tapi tetap saja, hampir 80% masih percaya bahwa masjid itu sebagai tempat aman dengan dalih tidak mungkin ada yang berani mencuri di masjid.

Tidak percaya? Coba cek masjid di sekitarmu, bandingkan berapa prosentase yang menerapkan protokol keamanan masjid dengan yang tidak menerapkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun