Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Abai Rasa Aman di Masjid

3 Juli 2020   23:54 Diperbarui: 3 Juli 2020   23:50 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengoperasian cctv masjid yang sesederhana itu tidak perlu kita bandingkan dengan misalnya, keberadaan cctv yang emoh berfungsi di kantor pemerintahan sehingga banyak uang milayaran lenyap. Mau bagaimana lagi, apapun di negeri ini bisa disuap, termasuk cctv yang juga butuh asupan nutrisi bergizi untuk keluarganya.

Selain cctv, pengurus masjid juga bisa mengantisipasi pencurian dengan berjaga sebagai satpam ketika shalat sedang ditunaikan. Tenang alih profesi sementara ini tidak bakal menggoyahkan akidah keimanan dan mengurangi kesalehanmu di depan mata calon mertua. Malah bisa jadi, mertua memberi apresiasi karena dirimu mau secara sukarela menjadi garda terdepan pemberantas pencurian di masjid.

Pernyataan alternatif pernah diutarakan oleh Pimpinan Kalbun Salim, sebuah majelis suka-suka yang didirikan untuk melestarikan kebudayaan lokal dengan basis epistemologi irfani. Majelis ini banyak bergerak di bidang kuburan, tempat keramat, dan naskah-naskah lama.

Katanya, "menjaga keamanan saat orang lain menunaikan jamaah shalat itu baik dan mulia. Lha iya kan, yang jamaah bisa tenang tidak kepikiran barang-barangnya hilang sampai ia salam menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri".

Tenang tidak perlu naik pitam dan mengecam pernyataan itu salah-sesat hanya karena kamu menafsiri berati lebih baik sebagai satpam dibanding shalat jamaah. Itu tidak perlu. Toh itu hanya sebuah pernyataan yang bisa disangkal, digugat, dan dibantah oleh siapa pun, kapanpun, dan di manapun.

Tapi yang jelas, pernyataan kontroversial itu muncul karena alasan yang melatarbelakanginya jelas, yakni kebutuhan rasa aman dari para jamaah yang sedang beribadah. Saya hanya menganggap ini sebagai bagian dari perspektif seorang manusia yang memiliki hak kemerdekaan berfikir.

Kita juga bisa saja memberi pernyataan, misalnya setiap shalat ditunaikan, gerbang dan pintu masjid ditutup. Soal pernyataan kita akan dilaksanakan sesuai prosedur kerja atau tidak sama sekali, itu tergantung kesepakatan kolektif pengurus masjid dan jamaah sekitarnya.

Dulu saya akrab dengan teman sesama pengurus masjid, sebut saja namanya Mas Eem. Ia selalu memposisikan dirinya sebagai tukang parkir masjid setiap kali adzan dikumandangkan. Kemudian beralih menjadi satpam saat shalat ditunaikan.

Alih-alih berseragam rapi seperti security atau pakaian agama dengan baju koko, sarung, lengkap dengan peci hitam, ia malah memilih mengenakan kaos dan sarung. Style itu istiqomah ia pakai, meski kadang ada perubahan variasi warna yang hanya itu-itu saja.

Ia cerita bahwa di awal-awal ia melakoni profesi sementara itu kerap kali kecolongan. Entah sandal, mukena atau sarung masjid, helm, bahkan montor juga pernah disikat maling cap jamaah masjid.

Tapi katanya setelah menjalani profesi itu selama enam bulan, "tapi saya sekarang sudah hafal orang-orang yang akan melakukan pencurian melalui gerak-geriknya". Sekarang ia sudah menikah dan mukim di desa di pesisir utara pantai Jawa bersama istrinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun