Mohon tunggu...
AS Riady
AS Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa di Tulungagung

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tafsir Serampangan untuk Literasi

28 Juni 2020   21:09 Diperbarui: 28 Juni 2020   20:59 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun belakangan ini, literasi menjadi topik yang tidak pernah absen dalam perbincangan orang banyak. Komunitas, organisasi agama dan politik, bahkan yang bergerak secara individu juga mengupayakan pembangunan literasi, minimal untuk dirinya sendiri.

Ya kita bisa berdebat panjang kali lebar kali tinggi soal konsep literasi. Tapi kalau saya amati, suara paling mendefinisikan literasi sebagai kemauan menulis dan membaca. Membaca apa saja, dan menulis apa saja.

Setiap hari mewajibkan diri sendiri untuk membaca dan menulis dalam kurun waktu berapa jam untuk membiasakan diri. Bahkan ada juga yang sampai ikut kelas menulis demi kebiasaan membaca dan menulisnya terbangun.

Saya sendiri pernah menjadi pelakunya. Ketika duduk di semester satu, saya tidak ikut kelas menulis. Namun saya mewajibkan diri satu hari minimal membaca buku sebanyak 25 halaman, di luar jurnal yang bisa saya akses melalui google schoolar dan laman lainnya. Apapun bukunya saya sikat, mulai dari buku teori, novel, filsafat, agama, budaya, sosial, dan politik.

Prinsip saya dulu, lebih baik banyak membaca tapi tetap bingung, daripada tidak membaca sama sekali tapi tetap saja bingung. Bagaimana, prinsip yang cukup membingungkan bukan?

Begini mudahnya, kalau saya membaca satu buku rampung, bukunya Sigmund Freud yang judulnya "The Interpretation of Dreams" misalnya, dan tidak tahu maksud buku itu, anda mungkin akan menuduh saya buang-buang waktu.

Memang iya, saya akui. Namun ketika ada diskusi, obrolan, atau status yang nyrempet-nyrempet dikit dengan buku itu, saya akan cepat menangkap maksudnya. Oh begini ta, oh ternyata begitu, dan ucapan tercengang sejenisnya.

Nah kemudian di tiap akhir pekan, saya mewajibkan diri untuk membuat satu tulisan, entah itu esai atau resensi buku yang kemudian dikirim ke website. Satu dua ya ada yang dimuat, tapi kebanyakan mangkrak, dan saya tidak menyesalinya.

Tapi di luar hari-hari itu, saya rajin sekali melatih menulis dengan cara mengisi status-status di media sosial. Ya barang satu dua paragraf dengan bahasa yang sok-sok begitu. Ini saya cerita dulu, sekarang sudah berbeda. Kalau tidak percaya, silahkan add facebook saya. Kita bisa berjejaring dan berkomentar.

Kembali lagi soal konsep literasi. Akumulasi pertambahan relasi dengan penulis, penerbit, dan seabrek orang-orang yang berkecimpung dengan buku, terutama yang berada di Yogyakarta, lamat-lamat saya menemukan konsep literasi yang baru. Dan ini hanya segelintir orang saja yang berkhidmat pada konsep ini.

Apalagi saat konsep ini dilegitimasi oleh Iqbal Aji Daryono, kolumnis detik yang super duper ugal-ugalan idenya dalam menulis esai populer. Katanya, "literasi itu bukan soal seberapa banyak kamu membaca dan menulis, tapi soal mental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun