Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Siti: Tragedi Perempuan yang Belum Usai

22 Juni 2020   22:53 Diperbarui: 22 Juni 2020   23:38 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dunia sosial, ditilik dari jenis kelamin, masyarakat terdiri dari pria dan perempuan. Keduanya sama-sama memiliki posisi dan perannya masing-masing. Bahkan maju dan tidaknya masyarakat, bergantung pada hubungan kerjasama antara pria dan perempuan. Di level ini, keduanya setara, tidak ada yang lebih dominan.

Akan tetapi, realitas tidak selalu berbicara perihal kesetaraan, apalagi tentang keadilan. Realitas selalu ada keberpihakan. Begitu cerita tentang laki-laki dan perempuan. Hampir di semua tempat, dalam kacamatan feminis, hubungan laki-laki dan perempuan selalu ada tumpang tindih, problem, dan ketidakadilan. Meskipun di situasi dan kondisi tertentu hubungan keduanya baik-baik saja. Tapi itu hanya pengecualian diantara seabrek problem yang lahir dari hubungan pria dan perempuan. Ya dalam konteks ini, yang jadi korban kebanyakan perempuan.

Kalau dulu ada istilah perempuan itu tempatnya di dapur, sumur, dan kasur. Perempuan tidak boleh ada di ruang tamu, di halaman, dilarang jalan-jalan apalagi shoping sendirian. Ya akhirnya perempuan banyak yang kurang pengetahuannya, karena tidak memperoleh edukasi yang layak. Perempuan terisolasi dari dunia luar. Perempuan di rumah, belajar pekerjaan domestik seperti mencuci, menyapu, mengepel, dan semacamnya.

Begitu, cerita seabad lebih di masa lalu tentang perempuan. Jika dibandingkan dengan sekarang, sudah jauh berbeda. Perempuan sudah ada yang sekolah, sudah boleh di ruang tamu, sudah boleh jalan-jalan ke luar kota, bahkan sudah ada yang menjadi orang nomor satu di negara ini. Kajian perempuan juga sudah digalakkan di kampus, lembaga-lembaga juga banyak yang berdiri dalam rangka membela dan mengedukasi perempuan.Tapi ya itu tadi, problem tentang perempuan masih jauh lebih dominan. Diskriminasi sterotipe, marginal, subordinasi, beban ganda, ditambah lagi akses yang terbatas masih ada dan dialami oleh kebanyakan perempuan.

Oleh karena itu, masih perlu upaya lebih giat lagi untuk membuat perempuan sejahtera lahir batin, budaya, sosial-politik, dan agama. Salah satu media perantara untuk mengampanyekan kesejahteraan perempuan itu, melalui film. Film Siti misalnya. Film yang pernah menjuarai Festival Film Indonesia di tahun 2015 ini relevan untuk bahan kajian perihal perempuan. Saya rasa juga ada pesan-pesan tersirat yang outputnya bisa menjawab, "eh ternyata perempuan juga bisa lho!"

Sinopsis Film Siti

Film ini disutradarai oleh Eddie Cahyono dengan pemeran utama Sekar Sari sebagai Siti. Pilihan tempat di pesisir pantai Pantai Parangtritis Yogyakarta dengan bahasa Jawa ngoko sebagai komunikasi, membuat film ini menarik untuk disimak. Selain itu, pilihan warna hitam putih menjadi keunikan yang juga patut untuk diapresiasi. Durasi filmnya hanya 88 menit.

Siti, seorang perempuan yang berjualan kripik jingking di Pantai Parangtritis Yogyakarta berupaya menghidupi keberlangsungan hidup keluarganya. Setahun yang lalu, suaminya Bagus mengalami kecelakaan kapal ketika menangkap ikan di laut. Setelah kejadian itu, Bagus lumpuh, tidak bisa berjalan. Hidupnya dihabiskan berbaring di kasur. "Tapi aku percaya laut", ucap suaminya mengawali film ini.

Kecelakaan itu juga yang menjebak Siti dalam lilitan hutang. Kapal yang ditumpangi suaminya saat kecelakaan masih belum lunas. Kondisi tersebut membuat Siti harus bekerja siang malam. Siangnya berjualan kripik jingking, sedang di malam hari Siti menjadi pemandu karaoke. Semenjak itu juga, hubungan Siti dan Bagus menjadi renggang. Bagus tidak mau membuka mulut dan berbicara. Renggangnya kisah asmara ini mendapat sambutan dari Gatot, polisi yang menaruh hati pada Siti di tempat karaoke.

Suatu hari, utang yang sudah jatuh tempo ditagih untuk segera dilunasi dalam jangka waktu tiga hari. Disisi lain, tempat karaoke digrebek oleh polisi setempat karena tidak mengantongi surat izin. Siti dan beberapa orang yang bekerja di tempat karaoke itu berhenti sementara. Kemudian pemiliknya mengajak semua yang bekerja di sana, termasuk Siti untuk datang ke kantor polisi guna menyuarakan pendapat serta mengambil peralatan karaoke. Karena ada Gatot disana, polisi yang menaruh hati pada Siti, akhirnya barang dikembalikan tapi dengan syarat Siti harus menemani karaoke.

Malam itu Siti melayani Gatot karaoke bersama temannya. Gatot menyatakan perasaannya untuk segera menikahi Siti. Memang Siti telah jenuh dengan keadaan suaminya yang lumpuh dan tidak mau bicara dengannya. Namun di sisi lain, walau ada yang lebih mapan dan berpenghasilan, Siti tetap setia memilih serta mempertahankan keutuhan keluarganya.

Akhirnya Siti memperoleh uang untuk melunasi hutangnya. Siti cerita perihal perasaan Gatot kepada suaminya, Bagus. Ekspresi emosi dan kaget terlihat di raut wajah Bagus. "Lungo o ti, lungo o!" (pergilah ti, pergilah!), ucap Bagus diakhir film yang mengundang kekecewaan Siti.

Terus ada apa sih?

Begini, ada beberapa konstruk yang sebenarnya sudah mengakar kuat di masyarakat kita. Konstruk ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah dan kepentingan penguasa di masanya. Ya konstruk perihal Budaya Jawa yang hampir seluruhnya berkiblat pada patriarki. Pria memperoleh keistimewaan dibanding perempuan. Sistem kerajaan dengan ragam khazanah, kemudian beralih ke sistem kolonial tidak bisa dilepaskan ketika membaca Budaya Jawa yang patriarki ini.

Nah, budaya patriarki yang seperti ini memperoleh sokongan dari pengetahuan agama yang masih awam dari kebanyakan masyarakat di pesisir pantai. Begitupun pengetahuan akademisnya juga masih sederhana. Akumulasi dari ini, saya rasa yang membuat konstruk masyarakat, khususnya di pesisir pantai menjadi lebih patriarki. Mereka mungkin tidak sadar. Mereka mungkin juga menganggap ini tidak menjadi sebagai persoalan.

Pemilihan tempat di pesisir pantai Yogyakarta di film ini saya rasa tidak hanya persoalan estetika tempat dan budayanya, melainkan juga ada upaya untuk mengkritik konstruk yang sudah dianggap mutlak itu. Siti, seorang perempuan dengan keterbatasan pengetahuan dan lingkungannya, suaminya juga lumpuh, tapi bisa menggantikan posisi suaminya untuk menghidupi keluarga. Ya ini menunjukkan bahwa tidak semuanya perkara berkiblat pada pria, perempuan juga bisa berbuat sama dengan yang dilakukan pria. Kira-kira begitu.

Tapi sebentar, film Siti, saya rasa tidak hanya mengkritik pada budaya patriarki saja. Karena budaya patriarki ini ternyata juga melahirkan berbagai macam diskriminasi perempuan. Diantaranya perempuan tidak boleh keluar malam, karena perempuan dianggap lemah. Tidak bisa menjaga dirinya sendiri jika terjadi sesuatu. Perempuan juga disangsikan ketika mengambil peran suaminya sebagai tulang punggung keluarga. Perempuan ya hanya mengurusi pekerjaan rumah, tidak lebih.

Siti menunjukkan bahwa diskriminasi dan sterotipe itu sepenuhnya juga tidak benar. Siti bekerja malam hari sebagai pemandu karaoke, tapi tetap bisa menjaga dirinya dan setia pada keluarga. Selain itu, Siti juga menjadi contoh bahwa perempuan juga bisa menjadi tulang punggung keluarga. Perempuan bisa jadi sumber utama ekonomi untuk menghidupi keluarga. Ya sederhananya, keluar malam dan menjadi tulang punggung bukan didasarkan atas jenis kelamin tertentu.

Meskipun demikian, upaya Siti yang sudah mengkritik budaya patriarki dan segala macam diskriminasinya dengan segenap wujud lakunya, tetap saja, kendali ada di tangan suaminya, Bagus. "Pergilah Siti", menjadi indikasi kendali yang saya maksud. Bagus melihat Siti citranya sudah buruk, keluar malam dan bekerja di tempat karaoke.

Secara keseluruhan, film ini bagus. Sederhana, tapi mengedukasi tiap pemirsa yang melihatnya. Pesan yang dimaksud juga tersampaikan. Begini, pria dan perempuan sama-sama manusia. Dalam konteks sosial, keduanya harusnya punya kesempatan. Potensi yang diberikanpun juga sama. Jadi sangat tidak adil, jika hanya menyanjung pria tapi terus-menerus menyandung perempuan? Begitu.

Judul Film       : Siti

Penulis             : Eddie Cahyono

Sutradara         : Eddie Cahyono

Pemeran          : Sekar Sari, Haydar Salishz, Ibnu Widodo, Bintang Timur Widodo, Titi Dibyo, Agus Radia

Genre              : Sosial

Durasi              : 88 Menit

Tanggal Rilis   : 28 Januari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun