Akhirnya Siti memperoleh uang untuk melunasi hutangnya. Siti cerita perihal perasaan Gatot kepada suaminya, Bagus. Ekspresi emosi dan kaget terlihat di raut wajah Bagus. "Lungo o ti, lungo o!" (pergilah ti, pergilah!), ucap Bagus diakhir film yang mengundang kekecewaan Siti.
Terus ada apa sih?
Begini, ada beberapa konstruk yang sebenarnya sudah mengakar kuat di masyarakat kita. Konstruk ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah dan kepentingan penguasa di masanya. Ya konstruk perihal Budaya Jawa yang hampir seluruhnya berkiblat pada patriarki. Pria memperoleh keistimewaan dibanding perempuan. Sistem kerajaan dengan ragam khazanah, kemudian beralih ke sistem kolonial tidak bisa dilepaskan ketika membaca Budaya Jawa yang patriarki ini.
Nah, budaya patriarki yang seperti ini memperoleh sokongan dari pengetahuan agama yang masih awam dari kebanyakan masyarakat di pesisir pantai. Begitupun pengetahuan akademisnya juga masih sederhana. Akumulasi dari ini, saya rasa yang membuat konstruk masyarakat, khususnya di pesisir pantai menjadi lebih patriarki. Mereka mungkin tidak sadar. Mereka mungkin juga menganggap ini tidak menjadi sebagai persoalan.
Pemilihan tempat di pesisir pantai Yogyakarta di film ini saya rasa tidak hanya persoalan estetika tempat dan budayanya, melainkan juga ada upaya untuk mengkritik konstruk yang sudah dianggap mutlak itu. Siti, seorang perempuan dengan keterbatasan pengetahuan dan lingkungannya, suaminya juga lumpuh, tapi bisa menggantikan posisi suaminya untuk menghidupi keluarga. Ya ini menunjukkan bahwa tidak semuanya perkara berkiblat pada pria, perempuan juga bisa berbuat sama dengan yang dilakukan pria. Kira-kira begitu.
Tapi sebentar, film Siti, saya rasa tidak hanya mengkritik pada budaya patriarki saja. Karena budaya patriarki ini ternyata juga melahirkan berbagai macam diskriminasi perempuan. Diantaranya perempuan tidak boleh keluar malam, karena perempuan dianggap lemah. Tidak bisa menjaga dirinya sendiri jika terjadi sesuatu. Perempuan juga disangsikan ketika mengambil peran suaminya sebagai tulang punggung keluarga. Perempuan ya hanya mengurusi pekerjaan rumah, tidak lebih.
Siti menunjukkan bahwa diskriminasi dan sterotipe itu sepenuhnya juga tidak benar. Siti bekerja malam hari sebagai pemandu karaoke, tapi tetap bisa menjaga dirinya dan setia pada keluarga. Selain itu, Siti juga menjadi contoh bahwa perempuan juga bisa menjadi tulang punggung keluarga. Perempuan bisa jadi sumber utama ekonomi untuk menghidupi keluarga. Ya sederhananya, keluar malam dan menjadi tulang punggung bukan didasarkan atas jenis kelamin tertentu.
Meskipun demikian, upaya Siti yang sudah mengkritik budaya patriarki dan segala macam diskriminasinya dengan segenap wujud lakunya, tetap saja, kendali ada di tangan suaminya, Bagus. "Pergilah Siti", menjadi indikasi kendali yang saya maksud. Bagus melihat Siti citranya sudah buruk, keluar malam dan bekerja di tempat karaoke.
Secara keseluruhan, film ini bagus. Sederhana, tapi mengedukasi tiap pemirsa yang melihatnya. Pesan yang dimaksud juga tersampaikan. Begini, pria dan perempuan sama-sama manusia. Dalam konteks sosial, keduanya harusnya punya kesempatan. Potensi yang diberikanpun juga sama. Jadi sangat tidak adil, jika hanya menyanjung pria tapi terus-menerus menyandung perempuan? Begitu.
Judul Film    : Siti
Penulis       : Eddie Cahyono