Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

(Resensi Buku) Pergulatan Kesenian Lokal dan Politik

20 Juni 2020   11:45 Diperbarui: 20 Juni 2020   11:41 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai negara bhineka, kesenian lokal menjadi salah satu pilar yang patut mendapatkan perhatian. Kesenian lokal tidak cukup untuk dipentaskan sebagai hiburan semata, kesenian lokal adalah identitas masyarakat setempat. Karena di dalamnya mengandung nilai-nilai moral, laku spiritual, dan memori kolektif sejak masa silam.

Han Gagas yang memiliki nama asli Rudy Hantoro mencoba menarasikan kesenian lokal Reog Ponorogo melalui novel. Novel ini layak untuk dibaca masyarakat, pelaku Reog Ponorogo, dan pengambil kebijakan. Selain data-data diramu dari tutur lisan dan beberapa referensi pendukung, novel ini juga mengingatkan kembali bahwa kesenian lokal Reog Ponorogo memiliki sejarah dan nilai-nilai yang dapat didarmakan kepada sesama dan semesta. Ia menuturkannya dengan apik. Bahasa yang digunakan juga mudah dipahami oleh masyarakat awam sekalipun. Kendati alur ceritanya mundur-maju.

Satu poin penting buku ini adalah menyuguhkan sebuah realitas kesenian sakral yang jamak ditemui di masyarakat kita ketika ditarik ke ranah politis, sedikit banyak akan mempengaruhi marwah seni itu sendiri. Lamat-lamat sakralnya bisa memudar, atau paling parah, esensi seni akan ambruk dan yang tersisa hanya formalitas pentas hiburan semata.

Dalam bukunya Tembang Tolak Bala ini, Han Gagas menceritakan pengalaman ganjil Hargo. Seorang anak kecil yang tidak sadarkan diri selama sebulan, usai hanyut ketika bermain di sungai bersama adik kembarnya. Selama tidak sadarkan diri, Hargo menjelajahi pengalaman yang ganjil dan mistis. Ia terlempar jauh di masa kehidupan leluhurnya, Ki Ageng Mirah. Tokoh sakti yang menjadi salah satu pendiri Ponorogo bersama Raden Katong, Ki Ageng Kutu, Honggolono, dan Ki Gentan pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Sejenak kemudian, Hargo kembali terlempar di kehidupan Eyang Tejowulan, kakek Hargo. Seorang warok (pembarong atau pemanggul reog) sakti yang dihormati, baik oleh sesama warok, pengikutnya maupun masyarakat. 

Kesaktian itu diperoleh Eyang Tejo melalui laku tirakat, dengan tidak melakukan hubungan intim dengan perempuan, sekalipun itu dengan istrinya. Karena perbuatan itu diyakini dapat melunturkan ilmu dan kesaktian seorang warok.

Maka dari itu, warok memiliki gemblak untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Gemblak ini dipilih oleh warok sendiri, biasanya anak laki-laki yang tampan dan manis berusia belasan tahun. 

Tak terkecuali Eyang Tejo yang memilih Hargo yang dikemudian hari adalah cucunya sendiri. Sampai-sampai istrinya sendiri merasa cemburu dengan kehadiran Hargo.

Hargo dirias supaya tampil menarik. Setiap kali rampung melakukan hubungan intim, Eyang Tejo merasa bersalah dan menyesal. Namun saat itu, alternatif untuk menyalurkan hasrat seksual belum menemui solusi seperti sekarang ini. Ketika gemblak sudah menginjak dewasa, ia akan diganti dengan yang lain. Begitu seterusnya.

(ber)Kelindan(nya) Politik dalam Kesenian Lokal

Novel ini juga menceritakan perkembangan dinamis dari kesenian lokal Reog Ponorogo akibat pengaruh situasi nasional. Peralihan dari masa kerajaan ke penjajahan menandai babakan pertama Reog Ponorogo sebagai kesenian lokal yang sarat dengan laku tirakat. 

Sebelum dan sesudah pagelaran dilaksanakan, ada berbagai macam ritual yang wajib untuk ditunaikan.

Kemudian ketika kolonial mengakar kuat, Reog Ponorogo sempat dibubarkan. Karena  pagelaran Reog Ponorogo memicu kerumunan sehingga dianggap oleh kolonial berpotensi untuk melakukan pemberontakan.

Setelah meraih kemerdekaan, pagelaran Reog Ponorogo kembali diizinkan. Di masa-masa inilah Reog Ponorogo memasuki babakan kedua, kesenian yang berkelindan dengan ideologi politik. 

Banyak warok dan pengikutnya menjadi bagian petinggi partai politik yang baru tumbuh. Bahkan tidak sedikit warok dan pengikutnya yang terbunuh pada tahun 65 karena menjadi bagian PKI. Imbas dari pergantian kekuasaan di tingkat nasional.

Adapun hari ini, pagelaran Reog Ponorogo sudah teratur. Pemerintah daerah menyediakan tempat, berbagai fasilitas, dan dipentaskan di alun-alun kota setiap tahunnya. 

Kendati demikian, laku tirakat dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya semakin luntur. Di sisi lain, keterlibatan para warok dan pengikutnya dalam dunia politik semakin menguat.

Hal ini diafirmasi oleh riset Jusuf Harsono, Hegemoni Negara terhadap Seni Reog Ponorogo (Jurnal Aristo; Sosial, Politik, Humaniora, 2019) yang menemukan data bahwa pada tanggal 27 Juli 2015, beberapa grup kesenian lokal Reog Ponorogo direkrut oleh sepasang calon bupati. 

Sepekan kemudian, bupati petahana menggelar Reog Ponorogo terbesar yang diikuti oleh 212 dhadak merak, mewakili 21 kecamatan di Kabupaten Ponorogo dalam rangka hari jadi ke-519 tahun. Pagelaran ini bertepatan dengan kondisi pemilihan kepala daerah yang semakin memanas.

Novel ini ditutup dengan kisah kasih manis antara Hargo dan Juli. Padahal leluhur keduanya saling berseteru karena perbedaan pendapat dan pilihan sikap berpolitik. 

Pembunuhan terjadi turun-temurun. Hargo yang mulanya ingin balas dendam karena kematian ayahnya yang diteluh oleh ayah Juli, mengurungkan niatya. 

Malah keduanya terjebak pada cinta pandangan pertama. Keduanya menikah, berkeluarga, dan memiliki anak. Akhirnya Hargo mengakhiri tradisi gemblak dan menjadi penasihat perkumpulan Reog Ponorogo.

Cerita ini dirampungi dengan apik. Buku ini juga dapat menjadi prototipe bahwa konflik, perang, perseteruan, dan apapun itu yang merugikan masyarakat banyak, akan menemukan titik temunya. 

Pada akhirnya, konsensus akan dicapai dan masyarakat hidup dalam damai. Meskipun pola seperti itu akan terus terjadi secara berulang-ulang. Konflik-berdamai, konflik-berdamai, begitu seterusnya.

Tembang Tolak Bala | Han Gagas | LkiS | 2011 | 228 Halaman | 978-979-25-5342-0

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun