Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

(Resensi Buku) Pergulatan Kesenian Lokal dan Politik

20 Juni 2020   11:45 Diperbarui: 20 Juni 2020   11:41 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum dan sesudah pagelaran dilaksanakan, ada berbagai macam ritual yang wajib untuk ditunaikan.

Kemudian ketika kolonial mengakar kuat, Reog Ponorogo sempat dibubarkan. Karena  pagelaran Reog Ponorogo memicu kerumunan sehingga dianggap oleh kolonial berpotensi untuk melakukan pemberontakan.

Setelah meraih kemerdekaan, pagelaran Reog Ponorogo kembali diizinkan. Di masa-masa inilah Reog Ponorogo memasuki babakan kedua, kesenian yang berkelindan dengan ideologi politik. 

Banyak warok dan pengikutnya menjadi bagian petinggi partai politik yang baru tumbuh. Bahkan tidak sedikit warok dan pengikutnya yang terbunuh pada tahun 65 karena menjadi bagian PKI. Imbas dari pergantian kekuasaan di tingkat nasional.

Adapun hari ini, pagelaran Reog Ponorogo sudah teratur. Pemerintah daerah menyediakan tempat, berbagai fasilitas, dan dipentaskan di alun-alun kota setiap tahunnya. 

Kendati demikian, laku tirakat dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya semakin luntur. Di sisi lain, keterlibatan para warok dan pengikutnya dalam dunia politik semakin menguat.

Hal ini diafirmasi oleh riset Jusuf Harsono, Hegemoni Negara terhadap Seni Reog Ponorogo (Jurnal Aristo; Sosial, Politik, Humaniora, 2019) yang menemukan data bahwa pada tanggal 27 Juli 2015, beberapa grup kesenian lokal Reog Ponorogo direkrut oleh sepasang calon bupati. 

Sepekan kemudian, bupati petahana menggelar Reog Ponorogo terbesar yang diikuti oleh 212 dhadak merak, mewakili 21 kecamatan di Kabupaten Ponorogo dalam rangka hari jadi ke-519 tahun. Pagelaran ini bertepatan dengan kondisi pemilihan kepala daerah yang semakin memanas.

Novel ini ditutup dengan kisah kasih manis antara Hargo dan Juli. Padahal leluhur keduanya saling berseteru karena perbedaan pendapat dan pilihan sikap berpolitik. 

Pembunuhan terjadi turun-temurun. Hargo yang mulanya ingin balas dendam karena kematian ayahnya yang diteluh oleh ayah Juli, mengurungkan niatya. 

Malah keduanya terjebak pada cinta pandangan pertama. Keduanya menikah, berkeluarga, dan memiliki anak. Akhirnya Hargo mengakhiri tradisi gemblak dan menjadi penasihat perkumpulan Reog Ponorogo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun