Mohon tunggu...
AS Riady
AS Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa di Tulungagung

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Perlawanan Akhir Pangeran Diponegoro

17 Juni 2020   17:17 Diperbarui: 17 Juni 2020   17:14 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonial sudah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat, perlawanan paling besar di masa lalu pernah dilakukan oleh Pangeran Diponegoro. Perlawanan yang meminta korban jiwa cukup besar, baik dari pihak Pangeran Diponegoro maupun dari pihak kolonial. Nama Pangeran Diponegoro sendiri kini sudah diabadikan menjadi nama jalan, institusi pendidikan, dan nama sebuah komunitas atau lembaga tertentu. Di samping itu, riwayat hidup sekaligus nilai-nilai perjuangannya terus diwariskan secara turun-temurun sebagai pembelajaran bagi generasi yang datang sesudahnya.

Peter Carey melalui bukunya "Asal Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh" ingin mewartakan kehidupan dan perlawanan Pangeran Diponegoro pada masa itu. Baginya membahas Pangeran Diponegoro ini menarik, karena tindakan yang dilakukan bukan hanya semata-mata berorientasi untuk melawan kolonial. Lebih dari itu, perlawanan Pangeran Diponegoro yang berujung pada kekalahan menjadi titik awal peralihan hegemoni Belanda atau East India Company (VOC) kepada zaman penjajahan yang sebenarnya(hlm. xix).

Buku ini pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1986 oleh Pustaka Azet. Kemudian diproduksi ulang oleh Penerbit LkiS Yogyakarta tiga dekade sesudahnya. Konten buku ini sesuai dengan tajuknya. Ketiga konten ditemukan oleh satu benang merah tentang cerita di zaman Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan kepada kolonial.

Asal usul perang Jawa bisa ditilik dari kontestasi antara Kesultanan Yogyakarta dengan Kerajaan Surakarta di abad 18. Kendati keduanya berdekatan, namun Kesultanan Yogyakarta jauh lebih mapan dan makmur dibanding Kerajaan Surakarta pada masa itu. Di sisi lain, Kesultanan Yogyakarta sebenarnya sudah mengetahui ada kekuasaan Belanda yang baru tumbuh di sebagian wilayah Jawa Barat(hlm. 3). Alih-alih melakukan konfrontasi kepada Belanda dan melakukan ekspansi ke Jawa Barat, Kesultanan Yogyakarta memilih untuk bermain aman.

Menurut Peter Carey, posisi Kesultanan Yogyakarta sebenarnya bisa mengalami masa kejayaan yang terus-menerus dengan terpenuhinya dua syarat, yakni perangai Sultan yang memerintah dan keadaan kekuasaan Belanda itu sendiri. Namun kedua syarat ini tidak ada yang terpenuhi. Naiknya tahta Sultan Hamengkubuwono II justru membawa perubahan yang bertolak belakang dengan pendahulunya. Akibatnya, kontestasi yang sejak awal sudah ada di dalam Kesultanan Yogyakarta justru semakin memanas.

Di sisi lain, Daendels di bulan Juli 1808 membuat keputusan resmi agar memberikan kedudukan wakil-wakil bangsa Belanda di istana dengan gelar menteri. Wakil-wakil bangsa Belanda ini harus diterima sederajat dengan penguasa bangsa Jawa (hlm. 4). Keputusan ini menjadi awal mula perseturuan antara Kesultanan Yogyakarta dengan Belanda karena hal itu dianggap sebagai sebuah penghinaan.

Di tahun 1811, pasukan Inggris yang terdiri dari orang-orang Sepoy mengambil alih Jawa dari Belanda. Setahun setelah itu, pasukan Inggris di bawah komando Raffles menyerang Kesultanan Yogyakarta dan merampas semua pusaka yang ada di dalamnya (hlm. 11). Kerajaan Surakarta juga diserang karena ketahuan melakukan surat-menyurat dengan Kesultanan Yogyakarta untuk memukul mundur kekuasaan Inggris. Meski kerusakan yang diterima oleh Kerajaan Surakarta tidak separah Kesultanan Yogyakarta.

Selain karena kesewenang-wenangan pemerintah kolonial seperti di atas, yang memicu lahirnya perang Jawa adalah perubahan gaya hidup di kalangan Kesultanan Yogyakarta. Kesahajaan yang diwariskan oleh para pendahulunya bergeser menjadi kebiasaan seperti berjudi dan minum akibat pengaruh dari orang-orang kolonial. Padahal di luar kesultanan, rakyat hidup kesusahan(hlm. 28). Pada titik ini, Pangeran Diponegoro menghendaki kehidupan yang sejahtera, tidak mementingkan diri sendiri, dan memihak kepada yang lemah.

Pada akhirnya perang Jawa pada 21 Juli 1825 meletus. Perang itu untuk menuntut kembali hak-hak yang sudah dirampas oleh kolonial beserta pengikutnya. Perang Jawa ini juga disebut perang sabil, Pangeran Diponegoro bertindak sebagai ratu adil dengan gelar Ratu Paneteg Panatagama. Meski pada tahun 1830 pihak Pangeran Diponegoro harus menelan kekalahan, tapi Perang Jawa ini menarik untuk dicermati minimal dari dua poin, yakni pengikut Pangeran Diponegoro yang masih bersifat tradisional dalam hal apapun, dan cakupan luas pergerakan perlawanannya (hlm. 43).

Seperti yang saya sebut di awal, bahwa perang Jawa ini meminta korban yang cukup besar. Sekitar 200.000 orang Jawa menemui ajalnya, baik dari pihak Pangeran Diponegoro maupun orang Jawa yang memihak Belanda. Kemudian sekitar 8.000 pasukan kolonial menderita akibat adanya Perang Jawa ini. Selain itu, Belanda sendiri harus mengeluarkan 20 juta gulden untuk membiayai seluruh pengeluaran yang terjadi pada perang Jawa tersebut. Kerusakan seperti ini cukup parah untuk ukuran perang pada masa itu.

Adapun pasukan Sepoy yang dibawa Inggris di atas merupakan tentara dari Kepresidenan Bengali. Pasukan ini mayoritas berisi orang-orang Hindu dari kasta atas dan pemilik tanah yang cukup luas. Pasukan ini juga terkenal sebagai pasukan yang tangguh, kuat, disiplin, dan bermoral serta berani. Keberadaannya di Jawa sedikit banyak menimbulkan perasaan gelisah masyarakat setempat (hlm. 76), dan puncaknya terjadi pada penyerangan ke Kesultanan Yogyakarta dan Kerajaan Surakarta.

Pemberontakan pasukan Sepoy dimulai dari peralihan kekuasaan tanah Jawa dari Inggris ke Belanda. Ketakukan akan dijual dan tidak dikembalikan ke Bengali membuat pasukan Sepoy memberontak. Secara politis, pasukan Sepoy tidak pernah mendapatkan dukungan dari Kesultanan Yogyakarta, namun mereka justru didukung oleh Kerajaan Surakarta. Di samping, orientasi Kerajaan Surakarta sendiri yang masih berharap untuk mendirikan hegemoni seutuhnya terhadap tanah Jawa.

Akan tetapi pemberontakan ini justru dimulai di Kesultanan Yogyakarta dengan dipimpin oleh Mata Deen pada 24 Oktober 1815. Namun karena kekurangan dukungan dari pihaknya sendiri, pemberontakan ini diundur terus-menerus sampai rencana ini didengar oleh Letnan Steel. Ultimatum pun diumumkan, bahwa siapa saja yang ketahuan terlibat dalam pemberontakan tersebut akan segera dieksekusi (hlm. 98). Ultimatum ini membawa hasil yang memuaskan, terbukti dengan dibatalkannya pemberontakan oleh Mata Deen.

Selama bulan November 1815, Inggris melakukan penyelidikan dan menangkap siapa-siapa saja yang terlibat dalam pemberontakan ini. Pemberontak dari pasukan Sepoy diadili dan kedudukannya diganti oleh tentara Eropa. Sementara itu, Kerajaan Surakarta mengalami fase genting. Sebab bisa jadi kerajaannya akan diserang dan dihancurkan oleh Inggris karena ketahuan terlibat dalam mempersiapkan pemberontakan tersebut. Raffles dengan segala pertimbangannya mengampuni Kerajaan Surakarta dengan beberapa syarat, di antaranya harus menyerahkan Pangeran Mangkubumi kepada Inggris dan mengakhiri persengkongkolan di masa mendatang (hlm. 101).

Terakhir, soal Raden Saleh yang melukis penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang pada Februari 1830. Penangkapan ini masih menimbulkan teka-teki, apakah kedatangan Pangeran Diponegoro memang untuk mendapatkan kedaulatannya sebagai pangeran dan meminta sebagian wilayah di Jawa Tengah kepada Belanda, atau memang ia sudah menyadari bahwa perjuangan yang dilakukannya telah mencapai titik akhir. Namun di luar itu semua, Kapten Roeps dan Mayor Stuers menyatakan kagum pada sifat ketenangan Pangeran Diponegoro yang justru tidak berhasil ditangkap dan dilukiskan oleh Raden Saleh.

Begitu kiprah Pangeran Diponegoro yang semasa hidupnya diabdikan untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia. Meski ia ditangkap, namun cita-cita yang berdaulat dari kolonial berhasil diwujudkan oleh generasi setelahnya yang datang seabad kemudian. Demikian.

Asal Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh | Peter Carey | LkiS | Cetakan I, 2012 | xxxii +214 Halaman | 978-979-3381-69-5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun