"Mas jangan dikunci stang" atau "dua ribu mas", ucapan dari tukang parkir yang kerap kita dengar. Ia berpakaian sederhana, kadang malah ala kadarnya. Tapi ada juga tukang parkir yang berpakaian rapi dan berpenampilan menarik. Perawakannya gagah sekaligus berwajah tampan. Bedanya dengan tukang parkir di atas ada dua, pertama tempat kerjanya. Kedua ada dan tidaknya peluit yang ditiup setiap kali kendaraan keluar masuk.
Untuk berjumpa dengan tukang parkir, kita tidak harus plesiran ke luar kota atau menginap di hotel berbintang lima. Pergi jauh-jauh seperti itu hanya buang waktu. Â Apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang dan lainnya, tukang parkir menjadi aternatif profesi yang banyak meraup keuntungan.
Tentunya tugas tukang parkir adalah menjaga kendaraan yang telah dititipkan kepadanya dengan baik. Tidak merusak atau malah menghilangkannya. Selain itu, kendaraan yang diparkir juga ditata dengan rapi. Tidak ditaruh seenaknya.
Tukang parkir juga selalu bersikap ramah kepada siapapun yang hendak memarkirkan kendaraannya, kecuali memang ada pelanggan yang ngeyelan. Setelah itu, petugas parkir mendapatkan upah dari tugasnya yang telah menjaga kendaraan pelanggan tersebut.
Nah mari kita renungkan meski hanya mendapat hikmah yang secuil dan tidak seberapa ini. Karena pada hakikatnya setiap peristiwa dan kejadian sangat mustahil mengalpakan hikmah. Kendati hanya sedikit dan secuil, barangkali ada nilai guna yang dapat diejawantahkan setiap waktu.
Begini, manusia diturunkan di muka bumi ini sebagai khalifah, sebagai pemimpin. Minimal pemimpin untuk dirinya sendiri. Salah satu tugas seorang pemimpin adalah menjaga sesuatu yang berkaitan dengannya. Bisa jadi dirinya sendiri, bisa jadi juga orang-orang di sekitarnya dan barang-barang yang menjadi miliknya.
Selain itu, tugas seorang pemimpin juga harus mampu mengatur dan menata rapi. Dianjurkan dengan sangat untuk tidak merusak. Setelah rampung, maka reward akan diterima. Tidak melulu berbentuk uang, tapi juga penghargaan, apresiasi, tepuk tangan, bahkan hanya sekadar ucapan terimakasih.
Anggap saja bumi seisinya ini merupakan kendaraan yang hendak di parkirkan (dititipkan) kepada kita. Bumi dan seisinya ini tidak hanya terbatas pada hewan dan tumbuhan saja, namun juga mencakup makhluk-makhluk tidak kasat mata yang terdapat di dalam bumi.
Hanya saja kita sering tidak menjaga relasi yang baik  kepada sesama dan semesta ini. Kita malah justru sering berbuat kerusakan. Sebut saja pencemaran, eksploitasi, bertengkar dengan tetangga, dan seabrek laku destruktif yang kita lakukan tanpa disadari. Dan apesnya, kita seringkali merasa benar dan telah berhasil mencerminkan manusia yang taat beragama.
Kemudian saat bersimpuh, kita melulu mengulangi doa yang sama. Doa untuk pengampunan. Merasa bersalah terhadap sikap dan sifat yang telah diperbuat. Tapi itu hanya diingat saat berdoa saja, selepas itu, kita kembali ke sifat destruktif. Dan ini dilakukan terus-menerus tanpa ada perubahan baik yang berarti.
Lantas hikmah dari tukang parkir yang mana yang relevan dengan kita sebagai pemimpin di bumi ini? Ada dua.
Pertama menyadari bahwa apa yang ada di bumi seisinya adalah titipan. Jika itu titipan, maka jangan dirusak. Analoginya jika montor yang diparkir dirusak, siapa yang marah? Tentu pemiliknya. Nah kalau bumi dirusak, lantas siapa yang marah jika bukan Maha Penguasa?
Kedua, senantiasa berupaya semaksimal mungkin dalam menjaga dan mengelola relasi harmonis baik pada sesama maupun semesta. Ya kalau kita sungguh-sungguh, berlaku adil dan benar, maka reward seperti tukang parkir yang dapat bayaran atau kenaikan pangkat, juga akan kita dapatkan kelak. Kalau tidak di sini, ya nanti di akhirat. Bukankah begitu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H