Mohon tunggu...
AS Riady
AS Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa di Tulungagung

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Polusi Jakarta di Masa Pandemi

5 Juni 2020   14:11 Diperbarui: 5 Juni 2020   14:13 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota harus bergerak cepat, baik ekonomi maupun mobilisasi. Di sektor ekonomi, kota punya industri dengan pabrik-pabrik bercerobong asap. Setiap hari beroperasi tiada henti. 

Tidak perlu menggurutu, toh pabrik itu menjadi tempat sekian juta orang mencari nafkah untuk keluarga. Di sektor mobilisasi, kota disokong kendaraan bermotor. Motor dan mobil berjejal di jalan. Semua ingin cepat, emoh mengalah. Berjalan dan bersepada hanya dilakukan di hari libur sebagai syarat sudah berolahraga.

Industri dan kendaraan bermotor itu memicu polusi tinggi. Polusi dan kota adalah saudara. Polusi tidak mengenal kapan dan di mana letak kota itu. Di Indonesia, kita mengenal serentetan kota-kota besar pengap polusi. Sementara ini yang kerap disorot hanya Jakarta. Iya, Kota Jakarta yang setiap kejadiannya dikabarkan ke seluruh Indonesia. Kota Jakarta representasi kota-kota berpolusi di Indonesia.

Bahkan saat pandemi pun, polusi emoh minggat. Polusi setia dengan kota. polusi tidak takut covid 19 yang cepat menular dan pelan-pelan mematikan. Simak cuplikan berita: "udara di Ibu Kota masih mengandung banyak emisi polusi udara, yaitu PM 2,5 (partikulat halus berukuran kurang dari 2,5 mikron)." Kabar itu tidak perlu mengagetkan kita. Toh di hari-hari biasa, polusi yang terjadi di Ibu Kota malah lebih parah.

Cuplikan berita itu terdapat di Koran Kompas berjudul "Langit Biru, tetapi Udara Belum Bersih", 05 Juni 2020. Polusi PM 2,5 yang terjadi di awal sampai pertengahan tahun 2020 tercatat jauh lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya dengan periode yang sama. Polusi Pm 2,5 paling tinggi didapati berada di Tangerang Selatan (41,2 mikrogram per meter kubik). 

Polusi ini sudah akut. Padahal standart kesehatan yang dikeluarkan oleh WHO yaitu 25 mikrogram per meter kubik per hari. Polusi tidak taat aturan standart dari WHO. Oh rupanya polusi di Indonesia hampir mirip dengan orang-orangnya yang bebal, ngeyelan, dan emoh taat aturan.

Kita patut belajar dari kota-kota besar di dunia. Polusi itu tidak hanya menjangkiti Ibu Kota Indonesia. Sederetan nama Ibu Kota beken dan keren juga turut menjadi korban. Sebut saja New Delhi (yang paling parah), Osaka, Busan, Dubai, Shenzen dan Chengdu. Kota-kota megah, dan disesaki bangunan menjulang tinggi pencakar langit ternyata juga menyimpan seabrek persoalan polusi.

Tapi tunggu sebentar, polusi ini ternyata juga punya keterkaitan dengan peningkatan jumlah orang yang terpapar covid 19. Simak pernyataan di berita itu, "orang-orang yang lama terpapar polusi udara rentan terkena Covid 19." 

Boleh jadi tidak menurunnya jumlah orang yang terpapar covid 19 bukan hanya karena soal tidak taat aturan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak saja. 

Tapi mereka yang bermukim di Ibu Kota sudah menghirup polusi itu jauh-jauh hari sebelum pandemi Covid 19 bertamu. Mereka sudah menabung polusi di tubuh. Bahkan polusi PM 2,5 itu sendiri bersifat kronis dan berpotensi mematikan. Partikel halusnya dapat memicu munculnya kanker dan penyakit pernapasan.

Nah, berita itu menemukan sebab lain polusi ini bermunculan selain industri dan kendaraan bermotor. Bondan Andriyanu, Juru Bicara Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mendapati Jakarta dikepung oleh sejumlah PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dengan radius 100 kilometer. Ada 5 PLTU berbahan bakar baubara dan 6 PLTU baru.

Polusi memilih Jakarta sebagai tempat bersemayam, bukan daerah di mana PLTU itu dibangun. Polusi memang mencintai Ibu Kota apa adanya dan mungkin selama-lamanya.

Memang pembangunan dan kemajuan pesat di Ibu Kota perlu ongkos yang mahal. Tidak hanya dengan triliyunan uang, tapi juga kesadaran menjaga lingkungan dari semua orang yang bermukim tidak cukup dengan solusi, rapat, dan pemberian penghargaan. 

Polusi dan kota terus bersahabat jika manusia emoh peduli pada kesehatan dan keberlangsungan hidup pada generasi yang datang belakangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun