Aku menatap matanya, mempertanyakan keputusannya yang menurutku kurang sopan. Dia tersenyum, menang.
“Anggap saja “gudang” sendiri. Dia menyebut “garasi” sebagai “gudang”, ruang penyimpanan.
Seorang wanita dengan pakaian lusuh keluar, menghampiri kendaraan kami. Pak Win membuka pintunya dan mengatakan sesuatu dalam bahasa Gayo, bukan bahasa Aceh!
Wanita itu tersenyum dan menyapa kami dengan hangat. Kami kemudian duduk di bangku kayu tua panjang. Dalam waktu sekitar sepuluh menit, hujan berhenti dan kami harus menggunakan waktu itu untuk menghindari serangan hujan berikutnya. Pak Win menyalakan mesin dan roda terus berputar.
Saya menoleh ke kanan dan kiri, saya melihat beberapa warung kosong. Saya bertanya pada Pak Win apa yang dijual orang di sana di pagi hari. Dia menjawab, “kentang merah, tebel (terong belanda), jipang, dan…” (saya lupa.)
Saya bertanya mengapa tidak banyak pohon kopi di sini. Ia menambahkan, petani mengganti tanaman kopi dengan tanaman kentang merah. Itu pada saat pemasaran kopi menemui jalan buntu. Sekarang kami memiliki masa depan yang cerah untuk kopi dan mereka masih mempertahankan kentang merah yang laku lebih tinggi daripada kentang biasa.
Hari masih mendung. Anda tidak lagi melihat pohon sirih sekarang. Sebaliknya, Anda melihat semak-semak merayap rendah di pinggir jalan. Arahkan pandangan melampaui semak-semak itu dan Anda akan melihat tanaman kopi setinggi lutut. Ya, Anda melihat pohon kopi pendek, sependek kurcaci. Itulah kopi arabika (Coffea arabica). Kita sekarang memasuki Kabupaten Bener Meriah yang bersama Takengon memproduksi kopi Gayo yang terkenal di seantero jagad.
Kami terus melaju dan sekarang melewati bandara kecil bernama Rembelle. Ceritanya pun berlanjut hingga menyentuh nama-nama besar di Indonesia, Jokowi dan Prabowo.
Pak Sugeng masih ingat dengan PT KKA?
“Iya. Saya dengar Pak Prabowo juga punya perusahaan di sini. ”
“Benar!”