Penulis melihat bagaimana, disebuah rapat menentukan kebijakan masyarakat harus menggunakan jalan voting, dan tidak mampu musyawarah guna mencapai mufakat. Barang kali ini yang dimaksud Tuhan mengajarkan kepada kita dalam setiap perselisihan beda pendapat agar menempuh jalan Mu’asyara bil ma’ruf? Musyawarah untuk mencapai kesepakatan yang baik. Disitu ada proses, berfikir rasionil sesuai dengan norma etitute, etika masyarakat, susila, disiplin ilmu, dan saling mengikhlaskan.
Ada proses menekan hawa nafsu pribadi golongan demi kemajuan bersama. Itu semua dimaksudkan agar kita dapat meninggalkan limbic, dan berfikir pada tempat duduk manusia yang lebih terhormat, berakal dan berkhlak. Sedikit saya simpulkan, agama melalui Rasul/Nabi mengajarkan kita norma dan adap hidup untuk membentuk akhlak menjadikan manusia yang berbeda dengan makhluk lainnya. Menjadikan mereka dapat membaur diluar kelompoknya, menjalin persaudaraan dan hubungan sosial yang bermanfaat. Agama harus bisa menjadikan setiap kita “Kudu andhap asor” Tawadu’ rendah hati dan “Wani ngalah dhuwur wekasane” yaitu berani mengalah untuk kemuliaan pada akhirnya. Karena musuh sejatinya adalah hawa nafsu diri sendiri.
Semoga revolusi mental bangsa ini berada pada landasan penjelasan di atas, agar generasi kita boleh berbangga mereka tidak melihat bangsa ini menjadi KARBIT ”Kebun Raya Binatang Indonesia”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H