suvenir sembarangan. Ini ukiran asli dari lembaran kayu keras, bukan kaleng-kaleng, bukan tempelan. Terukir halus seperti diorama di candi-candi. Mengisahkan interaksi masyarakat lokal dengan alam. Menombak ikan, menombak buaya, bahkan mengejar buaya yang sedang mengigit anjing. Ukiran berdimensi 75cm x 45 cm dan tebal 7 cm itu rumit dan ramai. Beratnya 5 kg saja.
Ini bukanIni bukan sembarangan suvenir. Ukiran ini berusia lebih dari 20 tahun, dibeli di Port Moresby, ibukota Papua New Guinea. Ukiran ini sempat melantai belasan tahun di gudang karena ibu saya bilang, "kayak penyembah berhala". Â
Saya tidak tahu berapa harganya, karena boss saya yang beli. No, no.....dia bukan beli untuk saya. Lha kok ada di rumah saya? Nah, itulah masalahnya.
Once upon a time, di sela-sela rapat kerja regional lembaga tempat kami bekerja, disediakan waktu untuk menyatroni pasar di Port Moresby. Semacam pusat kerajinan tangan. Entah apa nama pasarnya, dulu sulit diingat dan sekarang pun lupa. Lumayan ramai dengan wisatawan asing.
Menyadari kapasitas muatan bagasi, saya hanya membeli tiga ukiran kayu yang berukuran kecil dan ringan alias tentengable. Kebanyakan teman saya membeli lukisan, ukiran, patung, kaos, gantungan kunci, pernak-pernik perhiasan leher, tangan, dan telinga. Namun ada juga yang membeli suvenir berukuran besar dan berat. Bos saya termasuk golongan yang terakhir ini.
Sore hari membeli suvenir, malamnya panitia rapat mengumumkan agar semua suvenir berbahan dasar kayu difumigasi. "Terutama bagi yang penerbangannya transit dan menginap di Sydney". Saat itu saya kok merasa kena jebakan batman ya?
Terpaksalah, barang-barang suvenir dikumpulkan untuk difumigasi selama 24 jam. Staf lokal yang ada di lembaga kami membantu proses ini, sehingga sebelum tanggal keberangkatan, semua barang suvenir dan sertifikat fumigasi dikembalikan kepada pemiliknya. Saat itulah drama ukiran kayu dimulai.
Boss yang melihat betapa ringan dan kecilnya barang bawaan saya, dengan serta merta mengajukan usulan yang kesannya baik hati. "Wer, suvenir kamu saya bawain sini".
Deg, saya terkejut dong. Sebuah penawaran yang sangat langka....dari boss.
"Tapi tolong bawaain punya saya ya, kegedean nih, nggak muat dikoper," lanjutnya sambil ngeloyor, menenteng suvenir milik saya. Nah, kan... Sungguh proses barter yang singkat, tak seimbang, tanpa negosiasi. Gak jelas ini perintah, amanah, atau minta tolong sih?
Belakangan saya baru tahu, ternyata rute dan jadwal penerbangan beliau beda dengan saya. Maka terjadilah, saya tenteng ukiran kayu itu selama perjalanan. Makin lama makin berat. Apalagi ketika berhadapan dengan petugas bea cukai dan karantina bandara Sydney. Apa jadinya kalau ukiran itu ditahan sama petugas, atau saya yang ditahan karena memasukkan benda yang berpotensi menyebarkan mikroorganisme asing ke benua Australia?.